LUMPUR SIRING 2007:
Menuju Peta Jalan Penanggulangan Semburan dan Luapan yang Holistik
Dikontribusikan Oleh:
Dr. Ir. Hardi Prasetyo
Wakil Kepala Badan Pelaksana
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS)
Makalah dipresentasikan pada
Simposium Penanganan Lumpur Sidoarjo
Rabu, 19 Desember 2007
Diselenggarakan oleh:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM)
Pusat Studi Kebumian dan Bencana (PSKB)
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
DAFTAR
ISI
RINGKASAN
EKSEKUTIF
Kegiatan eksplorasi sumber daya
alam antara harapan dan realita
Fenomena Lusi tumbuh dengan cepat
Lusi sebagai suatu bencana yang
unik
Lusi dalam khazanah ilmu kebumian
sebagai mud volcano
Empat alternatif pembentukan Lusi
Kondisi Lusi
saat ini dari Citra Satelit Resolusi Tinggi
Perilaku
semburan lumpur dan dampak ikutannya
Tantangan dan Kendala
Peta jalan penanggulangan
semburan dan penanganan luapan Lusi yang terpadu dan holistik
Komitmen Bapel BPLS
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
o
Lusi sebagai Fenomena alam atau geologi dan implikasinya
o
Pakar kebumian mancanegara menentukan Lusi sebagai gunung lumpur yang
dahsyat
o
Pembandingan Kebencanaan Lusi dengan Bencana Nasional NAD dan Yogyakarta
o
Potensi kecelakaan pada kegiatan eksplorasi migas dan antisipasinya
Awal
Terjadinya Semburan
o
Semburan lumpur terjadi bukan di sumur BPJ-1 tapi didekatnya
o
Gempabumi Yogyakarta 26 Mei 2006 diperdebatkan memicu semburan Lusi
o
Lumpur Siring sebagai salah satu gunung lumpur yang paling dahsyat dan unik
Hambatan,
Tantangan dan Kendala Menghadapi Fenomena Alam
o
Tantangan dan Kendala
o
Geohazard sebagai dampak berganda dari semburan lumpur
Lingkup
Makalah
Metodologi
dan teknologi
Inovasi
Pemanfaatan Citra Satelit berdedikasi untuk publik
Komitmen Pemerintah untuk
Meningkatkan Penanggulangan Lusi
·
Apa yang terjadi bila Lusi
tidak dilakukan upaya apapun?
·
Pembentukan BPLS dan empat
misi yang diamanahkan
·
Kiprah dan tantangan Bapel
BPLS mengemban Misi Nasional Kebencanaan
·
Kendala dan Tantangan
KONDISI SAAT INI DAN PERMASALAHAN
·
Kedudukan Geologi dan Tektonik
Regional
·
Lusi sebagai gunung lumpur dan
kontroversi kejadiannya
·
Anatomi dan Sistem
Pengendalian Semburan dan Luapan
·
Perilaku Lusi dan Dampak
Ikutannya
·
Monev Perkembangan Lusi dari
Citra Satelit IKONOS-CRISPS
·
Pengaliran lumpur panas ke
utara Pond PerumTAS dan implikasinya
·
Pengaliran Lusi ke Selatan
·
Pengaliran Lusi Ke laut
melalui K. Porong: Antara harapan dan
tantangan
·
Hasil Normalisasi Sampai
Pertengahan Desember 2007
UPAYA PENANGGULANGAN
DAN PENANGANAN SEMBURAN
·
Posisi terhadap upaya
penanggulangan semburan lumpur
·
Strategi dan Skala Prioritas
Penanggulangan
·
Peta Perjalanan Lumpur Siring
·
Kriteria Basic Design Penanganan Luapan Lumpur
·
Enam prinsip penanganan Luapan
Lumpur
KOMITMEN DAN HARAPAN
·
Tidak Menjanjikan Kapan
Semburan Akan Berhenti
·
Komitmen Bekerja Keras dan
Mengerahkan Sepenuhnya (All Out)
·
Membangun Kebersamaan dalam
menghadapi Musibah/Bencana
·
Peluang Lusi sebagai topik
Tugas Akhir sampai Disertasi
Ringkasan Eksekutif
Fenomena alam Lupsi
Fenomena alam atau geologi
(natural or geological phenomena)
Lumpur Siring di Kabupeten Sidoarjo (Lupsi), sejak awal terjadinya 29 Mei
2006 hingga mendekati durasi bulan ke19,
terus tumbuh dan berkembang dengan pesat (fast
development).
Berdasarkan kecepatan (flow rate), durasi (duration), dan luas genangan dari
semburan dan luapan lumpur, pakar kebumian (Earth
Sciences) dari manca negara dan publik terkait telah menetapkan Lusi sebagai
suatu gunung lumpur yang dahsyat (spectacular mud volcano).
Dari dampak berganda (multiplier impact) dari luapan lumpur
terhadap aspek sosial-ekonomi-lingkungan, para pihak terkait telah menyebut
dampak berganda dari Bencana tersebut sangat komplek.
Kedudukan tektonik lempeng
Dalam kerangka tektonik
lempeng Indonesia (Plate tectonic
framework), Lumpur Siring terletak pada Cekungan Jawa Timur (East Jawa Basin), menempati posisi
busur belakang yang moderen (modern backarc)
dari sistem Busur Sunda (Sunda Arc system).
Kawasan ini mempunyai sejarah
tektonik (tectonic history) sebagai
implikasi dari kedudukannya di bagian tenggara dari pojok tenggara tepian
Paparan Sunda (Sunda Shelf Margin). Diawali
dengan rezim tektonik ekstensi (extensional
tectonic regime) pada zaman Paleogen (Paleogene
epoch) membentuk struktur rift (rift
structure) yang dikenal sebagai terban dan setengah terbang (graben and half-graben).
Tektonik ekstensi tersebut selanjutnya
telah dimodifikasi menjadi tektonik transpresif (transpression tectonic regime), yaitu membentuk struktur inversi (inversion structure), lipatan (fold) dan sesar naik (thrust fault).
Kearah timur dari kawasan ini
ditempati oleh cekungan laut dalam (deep sea basin) yaitu Cekungan Bali-Lombok-Flores
yang merupakan cekungan busur belakang yang modern (modern backarc basin). Secara keseluruhan cakupan daerah tersebut menunjukkan
adanya transisi deformasi dari rezim tektonik kompresif dengan pembentukan zona
jalur sesar naik (thrust belt zone)
di Cekungan Flores (Flores Basin)
menjadi struktur lipatan (fold structure)
yang dominan, disebut sebagai zona Lipatan Bali (Bali Fold Zone). Kearah barat intensitas deformasi kompresif (compressive deformation intensity) terus
melemah sampai ke Selat Madura (Madura
Strait).
Lupsi sebagai gunung lumpur dan kontroversi
kejadiannya
Walaupun Lupsi di dalam
khazanah ilmu kebumian maupun masyarakat umum (general public), antara lain di dalam situs internet (internet web references) telah diterima
secara universal (universal accepted)
sebagai gunung lumpur (mud volcano) dari
alternatif lainnya, antara lain semburan liar bawah permukaan dari dunia
eksplorasi migas (oil exploration).
Namun asal usul (origin) serta pengendali mekanisme
pembentukan dan perkembangannya (driving
force mechanism formation and development) masih menjadi bahan perdebatan
sengit, yang menjurus pada kontroversi berkepanjangan. Sehingga sampai saat ini
belum ada satu kesimpulan akhir (final
conclusion) yang bulat dan utuh.
Sekurang-kurangnya terdapat empat
alternatif terkait pembentukan Lusi yaitu: (1) terkait dengan pembentukan
sumber daya tidak terbarukan minyak dan gas bumi (non-renewable oil and gas resources); (2) sebagai konsekuensi
sejarah tektonik konpresif; (3) dipicu oleh terjadinya gempa bumi; dan (4)
dipengaruhi oleh keberadaan panas bumi.
Upaya penghentian semburan
Pasca terjadinya Lusi,
beberapa upaya telah dilakukan untuk menghentikan dan memperkecil kecepatan
semburan. Termasuk dengan metoda bawah permukaan (subsurface) antara lain snubbing unit, relief well 1 & 2, dan metoda
dari permukaan (surface) yaitu insersi bola-bola beton. Namun sebegitu jauh upaya
tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan sebagaimana yang diharapkan.
Usulan baru (new proposals) yang telah dibahas
sampai di tingkat Dewan Pengarah BPLS antara lain: 1) Penanganan luapan dengan pembuatan
tanggul berbahan pipa baja ganda (double
pipe steel coffer dam), yang terkenal dengan julukan ‘tong setan’; 2)
membangun tanggul cincin yang luas menggunakan bahan sirtu atau konstruksi
beton dijuluki ‘stadion utama’, mengadopsi konsep ‘Bernoullly’; dan 3)
lain-lain yang masih banyak lagi.
Metodologi dan Teknologi
Data dan informasi bawah
permukaan (subsurface) dan permukaan (surface) yang digunakan antara lain: 1)
data harian yang terjadi di pusat semburan termasuk besarnya ‘kick’ dan gelombang, tinggi asap,
kepadatan, temperatur yang merupakan ciri perilaku Lusi; 2) citra satelit
IKONOS-CRISP yang dipadukan dengan SIG MapInfo dan Google Earth; 3) lintasan Ground Penetration Radar (GPR) yaitu
metoda geofisika untuk mencitra bawah permukaan sampai kedalaman maksisum 25m; dan
4) rangkaian data baru kebumian, sumber daya mineral, dan geologi lingkungan
yang dilaksanakan bekerjasama dengan Badan Geologi, DESDM.
Kondisi Lusi Saat Ini dan Isu Aktual/Kritis
Citra satelit resolusi tinggi bulanan (Monthly high resolution satellite image) IKONOS-CRISP
yang terbaru dengan pengambilan 22 November 2007 telah digunakan sebagai
baseline monitoring, evaluation dan analisis (Monevan).
Penafsiran citra tersebut memperlihatkan
bahwa semburan yang dilokalisir di tanggul cincin (chain dikes) dan aliran lumpur terkini, masih terus berlangsung
dengan intensitas tinggi (highly intense),
dan keseluruhan sistem penanganan luapan lumpu terutama berlangsung pada Kolam
Utama (Selatan), Kolam Utara (PerumTAS), dan K. Porong di selatan Spill way.
Konsentrasi air di musim panas
dominan terjadi di Pond Utama terutama di pojok barat dari Pond PerumTAS (Sektor Osaka), dan lebih minor di pojok
tenggara titik 41 Pond Utama selanjutnya disebut sebagai Cekungan 41 (Basin 41).
Air yang barutrdapat pada Pond Siring dan Glagaharum.
Citra satelit juga
memperlihatkan adanya pengaliran lumpur yang berlangsung secara berlanjut dan
dominan ke utara dari pusat semburan. Sehingga pola aliran (drainage pattern) di Pond PerumTAS membentuk kipas sedimen (fan sediment), yang dikendalikan oleh
aliran tipe sedimen gaya berat (sediment
gravity flow). Proses sedimentasi ini membentuk pengendapan urutan
sedimen (sediment sequence) secara downlapping dari arah selatan (sumber di
overflow 44).
Sebagai implikasi dari pengaliran
lumpur ke utara telah menyebabkan tanggul-tanggul di lingkar dalam (inner ring dam) sisi barat mendapatkan
tekanan berlebih (overpressure). Sehingga
saat ini terpaksa dikondisikan untuk ’pasrah dilimpasi Lusi’ dan perannya dialihkan
pada tanggul permanen di sisi luar.
Pengamatan di lapangan
terhadap perkembangan semburan dan dampak ikutannya memperlihatkan bahwa:
1)
Telah memperlihatkan kecenderungan perilaku
semburan tipe geyser (geyser-like
eruption) yaitu dicirikan sekurang-kurangnya 5 kali perulangan interval
semburan berhenti (recurrent interval
stop eruption),
2)
Semburan dengan intensitas besar disertai ’kick’ dan gelombang (wave) yang datang silih berganti,
3)
Penurunan tanah umum (land subsidence) tipe penurunan seperti runtuh (sag-like subsidence) dengan kecepatan (rate subsidence) yang ekstrim sekitar
1,5m per minggu (awal Desember 2007),
4)
Terbentuknya bubble
baru sebagai dampak pembebanan luapan sedimen, sehingga jumlah totalnya
mencapai 74, dan
5)
Data struktur bawah permukaan dangkal (shallow subsurface) yang diamati dari
penampang ground penetration radar GPR
memperlihatkan aktivitas rekahan (crack),
sesar (fault), perlipatan (fold). Kondisi tersebut dapat
dianalogikan sebagai suatu perkembangan gunung lumpur yang ideal (ideal mud volcano development), namun
morfologi atau geometri juga sebagai hasil akhir yan dikontrol oleh tanggul dan
kolam buatan manusia.
Peta jalan (road map) penanganan semburan
dan luapan Lusi yang terpadu dan holistik
1)
Prioritas utama upaya penanggulangan Lupsi adalah
menyelamatkan masyarakat dari potensi luapan baru dari peta area terdampak (22
Maret 2007). Karena semburan lumpur panas masih terus terjadi dengan debit yang
tinggi (high rate eruption) dan
terdapat skenario terburuk (the wost case
scenario) akan berdurasi lama (long
way duration), sehingga akibatnya:
(1)
kolam-kolam penampungan utama telah semakin penuh
(batas permukaan lumpur sangat peres),
(2)
tanggul-tanggul telah mendekati ketinggian yang
kritis (elevasi +11 menuju +14m),
(3)
pengaliran ke K Porong semakin mempunyai rasio
kesulitan (higly ratio handicap) yang
tinggi baik dikontrol oleh mekanisasi (alat-alat berat) maupun secara proses alami
(natural process) mengandalikan
perbedaan topografi (topographic
gradient);
2)
Semburan lumpur dikendalikan melalui pembangunan
dan perkuatan tanggul cincin dengan konstruksi fleksibel denga sasaran
ketinggian +21m (saat ini +17), untuk mendapatkan efek ‘counter hydrostatic pressure impact’. Sehingga diharapkan dapat
dikurangi kecepatannya.
3)
Lumpur akan dialirkan ke laut (Selat Madura)
melalui Kali Porong sebagai media antara, sekaligus menggunakan potensi energi bebas
(free energy) yang dimililiki sendiri
oleh K. Porong, terutama pada musim penghujan.
4)
Pengaliran
dan pengurasan Lusi dari dalam Pond Utama secara optimal dilakukan pada musim
penghujan, sedangkan pada musim panas, Lusi
terutama akan disimpan dalam kolam penampungan. Bersamaan dengan itu dilakukan
normalisasi K. Porong, antara lain pasca musim penghujan dengan pengerahan
kapal keruk dari hulu (upstream) sampai
ke muara (downstream) dan Selat
Madura.
5)
Bila luapan lumpur telah dapat dikendalikan secara
aman, nyaman dan berkelanjutan (secure,
conforth, and continous), maka tahap selanjutnya adalah dilanjutkan dengan berbagai
upaya penanggulangan yang bertujuan baik untuk menghentikan total semburan (total stop eruption) atau mengurangi
debit semburan. Dengan memilih metoda atau teknologi yang paling memadai (realible). Sebagai catatan Perpres
14/2007 khususnya Pasal 15 Ayat 5, telah mengamanatkan kepada Lapindo untuk
bertanggung jawab secara finansial dan operasional terhadap upaya
penanggulangan semburan, termasuk membangun tanggul utama dari pusat semburan
ke Kali Porong.
Dalam Peta Perjalanan Lusi (Roadmap) tersebut untuk penyusunan basic design penanganan luapan lumpur dilakukan
dengan memperhatikan kriteria:
1)
Merupakan sebuah sistem yang diyakini efektif,
efisien, dapat cepat memberikan dampak dan berkelanjutan (quick yielding and sustainable);
2)
Konsep dapat dilaksanakan dalam jangka waktu
pendek, mengantisipasi kondisi kedaruratan (emergency
stage);
3)
Mampu mengatasi luapan lumpur sampai pada tingkat
kecepatan semburan sebesar 100 ribu m3/hari dan efektif dalam jangka waktu
lama. Termasuk upaya pemanfaatannya antara lain sebagai reklamasi;
4)
Mengoptimalkan fungsi dan prasarana dan potensi sumber
daya disekitar semburan untuk menghemat pengeluaran negara;
5)
Menghindari pengadaan tanah dalam skala besar yang
prosesnya memerlukan waktu lama;
6)
Menghindari perubahan drastis rona lingkungan (environmental tone) dan pemindahan
permukiman dan atau mengganggu mata pencarian warga secara besar-besaran.
Enam prinsip penanganan Luapan Lumpur
Sebagai konsistensi kriteria
penanganan luapan lumpur telah disusun basic
design dengan menggunakan media Kali Porong untuk membawa luapan lumpur ke
laut, adalah sebagai berikut:
1)
Membangun waduk penampunan lumpur dengan tanggul
penahan lumpur berbahan galian golongan C bersifat plastis, sehingga dapat fleksibel
untuk menerima perubahan termasuk land
subsidence sampai sag-like subsidence;
2)
Menguras pada waktu musim hujan untuk ruang
tampungan pada musim kemarau. Hal ini mempertimbangkan bahwa semburan berjalan
terus, sehingga fungsi waduk harus dapat didayagunakan secara berkelanjutan;
3)
Pengaliran ke Kali Porong agar didistribusikan
mengisi palung dengan menerapkan outflow tersebar,
yang berperan meratakan dasar sungai sehingga aliran tetap lancar baik pada
waktu air tinggi dan terutama pada waktu air rendah;
4)
Alur pikir:
a.
Memanfaatkan potensi daya air Porong yang melimpah
dan murah untuk menghanyutkan lumpur ke laut, Kali Porong dengan design untuk dapat menerima aliran sampai pada debit 1600
m3/det yang sudah ada dan siap digunakan,
b.
Tidak memerlukan investasi besar yang membutuhkan
waktu lama dan investasi besar,
c.
Menghindari pembebasan tanah yang rawan masalah
sosial dibanding bila membangun kanal baru, perlu tanah sekitar 1541 Ha,
d.
Di musim hujuan Kali Porong sebagai flow way dilalui banjir merupakan energi
untuk gelontor,
e.
Biaya operasi dan pemeliharaan jauh lebih kecil
dibanding via kanal, dimana harus dilakukan mekanisasi 24 jam sehari selama
setahun, dan
f.
Lupsi bukan material beracun.
5)
Normalisasi Kali Porong sebagai flood way, kondisi Kali Porong sebagai
sumber air atau wadah maupun sumber daya air memenuhi kebutuhan sebagai pembawa
endapan lumpur ke laut, perbaikan terutama pada pengerukan di bagian muara dan
pembuatan alur ke palung laut;
6)
Reklamasi pesisir pantai muara Porong, secara alami
delta porong telah mengalami akrasi sekitar 5 m/taun, memanfatkan hasil pengerukan
untuk reklamasi menambah luas wilayah pesisir
Strategi
Strategi yang telah ditetapkan
untuk pengendalian semburan dan luapan Lusi yaitu:
1)
Mengoptimalkan pembangunan tanggul cincin dengan
konstruksi yang fleksibel dengan target elevasi +21 m, sekaligus mengadopsi
konsep ‘counter hydrostatic presure’,
2)
Skala prioritas mengamankan masyarakat agar tidak
terkena luapan Lusi baru, melalui pembangunan tanggul yang baru, revitalisasi
tanggul-tanggul permanen yang telah ada sebelumnya. Dibarengi dengan pengaliran
secara mekanik dan mengandalkan secara alami pengaliran Lusi ke tempat
pengumpulan di Intake, sebelah selatan Kolam Utama,
3)
Mengoptimalkan sistem pompa lumpur (Toyo) dan pengerukan (dreger) untuk mengalirkan Lusi dari
Intake ke K Porong dan sekunder melalui spill
way.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenomena
alam (natural phenomena) Lumpur Panas
Siring (Lupsi) di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, berawal dari kegiatan
eksplorasi (exploration activities) di wilayah kerja (WK) dari Kontrak Production Sharing (KPS) PT Lapindo
Berantas. Sebelumnya telah memproduksi gas pada lapangan produksi gas alam (natural gas field) Wunut dan
Tanggulangin.
Namun sampai saat makalah
ditulis belum ada kepastian tentang penyebab (causing) dan pemicu (trigerring)
semburan Lusi. Disamping itu semburan Lusi terjadi tidak langsung di sumur
Banjar Panji-1, tapi di dekatnya sekitar 150 m.
Skenario eksplorasi yang
diterapkan adalah menggunakan sumur eksplorasi (exploration well) Banjar Panji-1 (selanjutnya disebut BP-1) untuk
menembus batuan reservoir (reservoir rock) batu gamping dari Formasi
Kujung. Yang diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 2800 m di bawah
permukaan.
Kegiatan eksplorasi minyak dan
gas bumi (oil and gas exploration)
mempunyai resiko kecelakaan (accident
risk), yang paling umum adalah adanya semburan liar (blow out) baik minyak, air, atau gas.
Karena itu standard
operation procedure (SOP) dari suatu kegiatan pemboran eksplorasi (exploration drilling), telah disiapkan
upaya-upaya untuk mengantisipasi semburan liar yang tidak dikehendaki. Atau
suatu sistem pencegahan semburan liar (blow
out preventer system).
Di Indonesia khususnya dan di
seluruh dunia, terjadinya semburan liar pada kegiatan eksplorasi dan produksi
migas, umumnya dapat diatasi yang memakan waktu antara 1 sampai 3 bulan
(rata-rata 2 bulan).
Awal Terjadinya Semburan
Tanggal 29 Mei 2006 saat masih
dilakukan kegiatan pemboran eksplorasi gas alam pada sumur BP-1 telah terjadi
semburan lumpur. Namun yang unik atau tidak umum adalah, semburan utama terjadi
pada lima lokasi di dekat lobang bor BP-1, dan bukan dari dalam sumur bor itu
sendiri.
Salah satu dari lima semburan
itu selanjutnya telah tumbuh dan berkembang (growth
and develop) menjadi suatu semburan yang dahsyat (super eruption) sebagai lumpur panas di pusat semburan (eruption centre) Lumpur Siring.
Dua hari sebelum terjadinya
semburan liar tersebut, (tepatnya
tanggal 27 Mei 2006) di Yogyakarta telah terjadi bencana alam (natural
disaster) gempa bumi yang telah menimbulkan korban meninggal dunia,
memporakporandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Walaupun sebelumnya di
beberapa tempat di dunia, semburan lumpur dapat terjadi dipicu oleh gempa bumi.
Namun sampai saat ini masih diperdebatkan apakah gempa bumi Yogyakarta terkait
langsung atau tidak untuk menyababkan atau memicu semburan Lumpur Siring.
Lumpur Siring sebagai salah satu gunung lumpur yang paling dahsyat dan unik
Berdasarkan debit (volume),
durasi (duration), kecepatan (rate), panas (temperature)
dan luas (area) semburannya, para ahli kebumian (earth scientist) dari
manca negara telah menyebutnya Lusi sebagai suatu fenomena gunung lumpur (mud
volcano) yang paling besar atau dahsyat dan unik dari yang telah pernah
terjadi di seluruh dunia.
Namun, walaupun telah
memperlihatkan kecenderungan baru, yaitu perioda semburan berhenti selama lima
kali selama dua bulan ke belakang ini. Namun belum ada tanda-tanda bahwa
fenomena alam (natural phenomena) tersebut
akan berhenti (stop eruption) dalam
waktu dekat ini.
Sebagai sknenario lainnya
adalah semburan tidak dapat dihentikan, sehingga akan terus mengalir sampai
pada waktu yang lama.
Hambatan, Tantangan dan Kendala Menghadapi Fenomena Alam
Disamping itu semburan lumpur
belum memperlihatkan adanya tanda-tanda akan berhenti. Yang menambah kekomplekan
dari fenomena Lusi adalah terdjadinya dampak berganda (multiplier effect), termasuk bagian dari fenomena bencana geologi (geological hazard), yaitu : a) penurunan
tanah (land subsidence), b) rekahan (crack) sampai patahan (fault), c) munculnya gelembung atau
semburan mikro (bubble) yang telah berjumlah 76, dan d) keluarnya gas
H2S yang terkadang semburan di daerah pusat semburan mencapai di atas ambang
batas aman.
Semua hal di atas menjadi
kendala, hambatan sekaligus tantangan dalam upaya menanggulangi semburan dan
menangani luapan lumpur, agar tidak meluas ke luar dari Peta Area Terdampak 22
Maret 2007. Yang pada akhirnya dapat menambah korban dan sekaligus menambah permasalahan
sosial baru.
Lingkup Makalah
Makalah ini akan memberikan
fokus terhadap perkembangan faktual
semburan dan luapan Lusi, grand
strategy serta prioritas sebagai komitmen Pemerintah untuk meningkatkan
penanggulangan Lumpur Siring.
Inovasi Pemanfaatan Citra Satelit
berdedikasi untuk publik
Citra satelit (satellite image) IKONOS dalam situs
CRIPS bersifat public domain yang
khusus berdedikasi untuk bencana Lusi (terakhir halaman 24, diambil tanggal 22
November 2007), menyediakan alat bantu yang bermanfaat (significant tool) bagi masyarakat di seluruh dunia (the world community) yang peduli (concern)
dan ingin mengikuti perkembangan dan dinamika secara aktual secara
berkelanjutan bulanan (monthly satellite
image time series).
Dengan mengintegrasikan citra
satelit CRIPS dengan SIG MapInfo dan cyber net Google Earth telah digunakan oleh Badan Pelaksana
(Bapel), Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai Peta Kerja (Working Satellite Image) dan khususnya
sebagai alat bantu dalam proses pemantauan dan evaluasi (Monitoring and
evaluation processes) secara lebih aktual dan obyektif.
Komitmen Pemerintah untuk
Meningkatkan Penanggulangan Lusi
Apa yang terjadi bila Lusi tidak dilakukan
upaya apapun?
Berdasarkan simulasi di
komputer (computer simulation) dengan memperhatikan parameter kecepatan
semburan (rate eruption), debit (volume), kecepatan penurunan (rate of subsidence), dan waktu (duration), bila tidak dilakukan upaya
penanggulangan yang signifikan, maka dalam kurun waktu tiga tahun dari saat
kejadian (29 Mei 2006). Diperkirakan Lusi sudah akan jauh meluap ke luar dari
daerah terdampak saat ini.
Sehingga the worst case scenario tersebut perlu diantisipasi dengan suatu
upaya dan langkah yang komprehensif dan integral untuk meningkatkan upaya
penganggulangan semburan dan penanganan luapan Lupsi.
Pembentukan BPLS dan empat misi yang
diamanahkan
Memperhatikan realita yang
berkembang bahwa Bencana yang diakibatkan oleh semburan dan luapan Lusi sudah semakin
meluas dan berpotensi memperluas Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Sehingga pada
tanggal 8 April 2007, BPLS dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 14/2007,
dengan 4 (empat) misi utama (main
mission): (1) Upaya penanggulangan semburan, (2) Penanganan luapan, (3)
Penanganan dampak sosial kemasyarakatan, dan (4) Penanganan dampak
infrastruktur.
Kiprah dan tantangan Bapel BPLS mengemban Misi Nasional Kebencanaan
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 14/2007,
selama 8 bulan Bapel BPLS telah eksis dan berkembang dalam mengemban misi
nasional strategis, untuk mengamankan serta memulihkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat sebagai dampak BENCANA Lumpur di Desa Siring, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo.
Selama kurun waktu tersebut Bapel BPLS yang baru
dibentuk (walaupun secara misi merupakan kelanjutan Timnas PSLS) saat mengawali
kiprahnya, dituntut untuk secara bersamaan harus membangun kelembagaan (institutional
building). Pembangunan kelembagaan merupakan bagian dari proses masukan (input process) dalam keseluruhan sistem
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Namun bersamaan dengan itu, Bapel BPLS juga sudah
harus menghadapi permasalahan yang cukup pelik (complex problem), atau
harus segera ‘berperang’ terhadap aspek-aspek sosial kemasyarakatan,
pengendalian semburan dan luapan lumpur, serta penanganan dampak infrastruktur.
Permasalahan Mendasar dan Dampak Berganda
Terkait dengan misi nasional yang diemban Bapel
BPLS, maka permasalahan yang dihadapinya senantiasa berkembang sangat dinamis.
Hal ini antara lain karena pengendali mekanisme (driving force mechanism)
dari bencana Lusi (Lusi disaster) yaitu semburan lumpur panas
(hot mud eruption) masih terus berlangsung tanpa henti, dengan intensitas
yang tinggi.
Walaupun selama kurun waktu dua bulan belakangan
ini telah pernah memasuki interval perulangan (recurrent interval) semburan
berhenti. Namun sebegitu jauh, belum menunjukkan tanda-tanda bahwa semburan Lusi
akan berhenti secara permanen (permanent
stop) dalam waktu dekat.
Kondisi ini yang menjadikan alasan, sehingga Lumpur
Siring oleh pakar kebumian (the Earth
scientists) dari manca negara telah ditempatkan sebagai salah satu gunung
lumpur (mud volcano) yang terunik dan terumit (unique and complex) dari yang telah berkembang ribuan jumlahnya di
dunia. Di mana yang terbanyak tercatat di Azerbaijan, khususnya di Cekungan
Kaspia Selatan (South Caspian Basin).
Dalam kaitan ini, Bapel BPLS dihadapkan pada suatu
realita yaitu menghadapi fenomena alam (natural phenomena), yaitu lahir
dan berkembangnya (birth and growth) suatu gunung lumpur. Dimana para
pakar kebumian (earth scientists) sendiri masih terus memperdebatkan dan
belum sampai kepada satu kesimpulan yang bulat terhadap asal mula kejadiannya (origin),
serta metoda dan teknologi apa yang dapat menghentikan semburan Lusi yang
demikian dahsyat itu.
Namun bersamaan dengan adanya
ketidakpastian (dispute) tentang kejadian mud volcano Lusi tersebut dan
upaya menghentikan semburannya, maka masalah sosial kemasyarakatan terus
mengemuka serta muncul silih berganti. Sehingga sedikit banyak akan sangat berpengaruh
terhadap segala upaya untuk mengendalikan semburan dan luapan lumpur itu sendiri.
Hal ini pada akhirnya telah
mengganggu keamanan dan kenyamanan bagi Bapel BPLS dalam mengoptimalkan segala
daya, tenaga dan fikiran dalam melaksanakan misi nasional terkait.
KONDISI SAAT INI DAN ISU AKTUAL
SEMBURAN DAN LUAPAN LUSI
Kedudukan Geologi dan Tektonik Regional
Walaupun sampai saat ini
asal-usul (origin) dan pengendali
mekanisme (driving force mechanism) Lupsi
masih menjadi hal yang misteri (mystery)
bahkan menimbulkan kontroversi diantara pakar kebumian, ahli perminyakan, dunia
kampus dan lain-lain. Namun telah umum untuk diterima bahwa fenomena gunung
lumpur terjadi terutama pada suatu kawasan yang mempunyai kerangka geologi dan
teknonik tipe kompresif (compressive
tectonic framework).
Pada kerangka geologi dan
tektonik regional, Lupsi terletak dalam Cekungan Jawa Timur (Eastern Jawa Basin). Merupakan salah
satu dari 60 cekungan sedimen Tersier (Tertiary sedimentary basin) di
Indonesia.
Dalam teori tektonik lempeng (plate tectonic) yang merupakan suatu
revolusi dari ilmu kebumian (Earth
sciences), sebagai perwujudan dari konsepsi tektonik dunia baru (new global tectonic conception). Lupsi
di dalam Cekungan Jawa Timur menempati busur belakang (backarc) atau foreland
dari sistem busur-parit Sunda (Sunda
arc-trench system).
Sejarah geologi kawasan ini
menunjukkan adanya transisi dari rezim
tektonik ekstensi (extensional tectonic)
pada jaman Paleogen dicirikan dengan berkembangnya struktur patahan (fault structure) tipe graben dan half graben. Selanjutnya struktur tersebut telah pada jaman Neogen
dimodifikasi menjadi tektonik kompresif (compressive
tectonic). Dimana struktur horst
dan graben yang terbentuk sebelumnya
telah diinversi (inversion) membentuk
struktur lipatan-lipatan (fold
structures) dan patahan naik (reverse
fault). Secara regional intensitas deformasi kompresif secara berangsur
meningkat ke arah timur yaitu sepanjang Cekungan Bali-Lombok-Flores, di
beberapa tempat terjadi fenomena diapir lumpur (mud diapir).
Kenampakan Lusi dari Citra Satelit
IKONOS-CRISPS
Citra satelit tanggal 22
November 2007, secara umum memperlihatkan semburan yang aktif (active eruption) di Pusat Semburan (big
hole). Dicirikan dengan asap dari uap panas berwarna putih, selanjutnya di
dalam kolam penampungan utama (main pond)
Lusi dialirkan ke selatan sepanjang kanal barat (west canal), dengan menggunakan alat berat menuju ke daerah
penampungan (intake).
Disamping itu, Lusi juga
dialirkan ke arah tenggara dengan mengandalkan adanya perbedaan ketinggian (topographic gradient). Citra satelit
IKONOS juga memperlihatkan adanya intensitas pengaliran lumpur secara
berkelanjutan ke Pond PerumTAS di utara pusat semburan (eruption centre), melalui mekanisme tanggul buka tutup (cofferdam). Untuk selanjutnya dialirkan
melalui overflow yang berlokasi di sebelah timurnya.
Overflow tersebut selanjutnya
berperan sebagai pengendali mekanisme (driving
force mechanism) terjadinya proses sedimentasi (sedimentation processes) dengan pola aliran lumpur (drainage pattern) berbentuk kipas
radial (fan radial).
Karakteristik tersebut secara
umum dapat dianalogikan (modern analogy) dengan
proses aliran sedimen gaya berat (sediment gravity flow), yang
bertanggung jawab membentuk sedimentasi turbidit (turbidite sedimentation) di lingkungan laut dalam (deep sea environment).
Hal ini merupakan perwujudan
dari konsep geologi yang klasik yaitu ‘saat ini merupakan kunci masa lalu
(the present is the key to the past)’.
Bagian depan (frontal) dari sedimen kipas tersebut
mendesak air dalam jumlah yang signifikan, sehingga walaupun di musim kering
(Juni-Desember), akumulasi air yang terpisah dari lumpur terutama di barat laut
Pond PerumTAS dan bagian timur Pond Siring (saat ini mulai tenggelam).
Walaupun tanggul-tanggul di
sekitar kolam penampungan yang tersedia saat ini terus ditinggikan hingga
mencapai elevasi +11 m. Namun sebagai implikasi semburan dalam jumlah yang
spektakuler berkisar 60.000 sampai 100.000 m3 per hari (walaupun
pernah 5 kali semburan mendekati debit 0 m3) daya tampung kolam
penampungan lumpur tersebut telah semakin kecil.
Hal ini dapat dilihat dari batas permukaan
air/lumpur dengan tanggul sangat dekat, bahkan tanggul Siring Timur (T11-13)
kini mulai tenggelam. Pengaliran Lusi ke luar daerah genangan (dibatasi oleh
Peta Area Terdampak 22 Maret 2007) dari intake
dilakukan dengan mekanisasi kapal keruk (dredger)
dan pompa-pompa lumpur (slurry pump)
ke selatan K. Porong.
Pada citra satelit IKONOS diambil bulan November
2007 juga dapat diamati terjadi sedimentasi Lusi yang lebih padu (compacted sediment) di sekitar luaran (outlet) lumpur (spillway). Sehingga pada bagian proximal dari sistem sedimentasi
(sedimentation system) membentuk pola kipas (fan sediment), disamping itu terlihat dua kapal keruk dan enam exca-ponton sedang bekerja. Sebagai
upaya mengurangi dampak sedimen padu, sekaligus menormalisasi aliran K. Porong.
Ke arah timur kali Porong yang menjauh dari sumber
sedimentasi yang telah dipengaruhi sistem arus traksi (traction current system) atau sistem aliran sungai (river
current system). Merupakan bagian (distal),
terdapat lensa-lensa sedimen (sediment lenses) dan menjadi pita-pita (tape sediment) dengan arah memanjang,
sampai ke arah jembatan jalan tol lama.
Skenario Lusi sebagai mud volcano: Knowledge untuk memperkuat basis data
terkait dengan pengendali mekanisme gunung lumpur
Pada bagian
terdahulu telah disampaikan bahwa posisi Lumpur Siring sebagai suatu fenomena
alam gunung lumpur (mud volcano), sudah umum diterima secara universal. Namun
yang masih menjadi perdebatan sengit adalah pengendali mekanisme pembentukan
gunung lumpur Siring terutama terkait penyebab (causing) dan pemicunya (triggering).
Bapel BPLS
sesuai dengan visi dan misinya memposisikan dirinya untuk lebih berorientasi
melihat ke depan (fore ward looking) guna menanggulangi bencana
semburan, sekaligus mengamankan masyarakat terhadap potensi baru bencana yang diakibatkan
semburan dan luapan lumpur Siring.
Namun,
salah satu misi BPLS terkait upaya penanggulangan semburan, mengharuskan
dilakukannya pengkajian secara mendalam terhadap hasil-hasil pemikiran dan
pandangan serta usulan terhadap skenario asal-usul lahir dan berkembangnya
(birth and developing) dari gunung lumpur tersebut. Sehingga pada
gilirannya dan bila saatnya tiba, hal tersebut dapat digunakan sebagai alat
bantu (tool) dalam proses pengambilan
keputusan yang tepat, dengan resiko lingkungan hidup (environmental risk) yang sekecil-kecilnya.
Studi mengenai
asal-usul gunung lumpur telah berlangsung selama dua abad, namun sampai saat
ini hal tersebut masih tetap menjadi misteri dan penuh dengan kontroversi. Namun
bersamaan dengan perjalanan waktu, beberapa isu kritis (critical issues) diantaranya telah secara umum terdapat
beberapa kesamaan pandangan (general understanding).
Dalam
kaitan hubungan proses pembentukan gunung lumpur dengan gunung dari aktivitas
magma (mud volcano versus magmatic
volcano), maka temperatur proses pembentukan gunung lumpur secara ekstrim
lebih dingin dari pada proses-proses gunung api dari kegiatan magmatisme.
Gunung api
dibentuk oleh aktivitas magma, dalam hal ini pada sistem Busur Sunda merupakan
hasil penunjaman lempeng Samudera Hindia (Indian
oceanic plate) terhadap lempeng Kontinen Eurasia (Eurasian plate). Kantong magma (magma
chamber) terbentuk sebagai akibat proses pencairan dari lempeng litosfera
samudera (ocean lihospheric plate),
selanjutnya dengan adanya titik lemah (weakness
point), magma di-erupsikan ke permukaan membentuk geometri gunung api.
Mud volcano
telah didokumentasikan keberadaannya di seluruh dunia pada 41 kawasan darat dan
21 lepas pantai. Dari kehadiran mud volcano di atas maka secara umum perkembangannya
dikontrol oleh: (1) adanya pengendapan sedimen yang cepat (rapid
sedimentation) yang memicu
terjadinya tekanan berlebih (overpressure), (2) berkembangnya tektonik transpresi (lateral tectonic
compression), dan (3) hadirnya gejala geologi aktivitas magmatik saat ini
yang secara konseptual di kontrol oleh tektonik lempeng (plate tectonics).
Lupi
sebagai mud volcano telah memperlihatkan tahap perkembangannya, dimana para
pakar kebumian telah menempatkan Lupsi pada peringkat atas yang terunik dan
terkomplek dalam asal usulnya, bencana yang ditimbulkan dan langkah
penanggulangannya.
Beberapa
kriteria yang digunakan yaitu: besarnya kecepatan semburan (eruption rate),
luas genangan (area), durasi semburan (eruption duration) dari
saat ia mulai terbentuk, aspek rasio, temperatur di permukaan (surface
temperature) yang disandingkan dengan angka geothermal gradient untuk
memperkirakan besarnya temperatur di lokasi terjadinya uap (jet steam),
jumlah kerugian yang ditimbulkan korban meninggal dunia, jumlah pengungsi,
dampak sosial-ekonomi-infrastruktur.
Secara
genetik sekurang-kurang terdapat empat alternatif pembentukan Lumpur Siring,
yaitu terkait:
(1)
Terkait
dengan proses pembentukan sumber daya minyak dan gas bumi (oil and gas
resources generation);
(2)
Daerah
pernah dipengaruhi oleh lingkungan tektonik kompresif baik aktif atau
reaktivasi;
(3)
Dipicu oleh
gempa bumi (earth quake); dan
(4)
Terkait
dengan keberadaan geologi magmatik (volcanism magma) atau fenomena menyerupai
panas bumi (geothermal).
Terkait
sumber air, uap/gas dan lumpur sekurang-kurangnya berkembang tiga skenario:
(1) Berasal dari satu sumber berupa lempung cair (liquid
mud) yang dapat dianalogikan dengan dapur magma (magma chamber) sebagai
pengendali gunung api;
(2) Berasal dari sumber yang berbeda, air dan gas
berasal dari formasi batuan reservoir (reservoir rock) yang berporositas
tinggi (high porosity) dengan tekanan berlebih (overpressure) dan
mempunyai kedudukan yang lebih dalam. Sedangkan lumpur merupakan hasil erosi
oleh fenomena ‘jet steam’ dari formasi lempung yang berada di atasnya
atau berfungsi sebagai batuan penutup (cap rock);
(3) Berasal dari bagian dalam dari kerak bumi (earth
crust), yang mengalir ke daerah yang lebih dangkal.
Semburan
Lumpur Siring termasuk yang paling dahsyat, terutama bila ditinjau dari ‘mesin
penggerak’ di bawah permukaan (subsurface engine work) dengan parameter yaitu:
1)
Tingginya
kecepatan semburan (berkisar 60.000 m3 sampai 100.000 m3 per hari),
2)
Semburan
telah berlangsung dengan durasi sekitar 20 bulan,
3)
Temperatur
Lusi di permukaan mencapai 100oC,
4)
Luas daerah
yang digenangi sekitar 640 hektar,
5)
Ketebalan
lebih 10 m,
6)
Mengalami
periode semburan berhenti sebanyak 5 X, selama dua bulan ke belakang ini;
7)
Terjadinya
semburan mikro atau gelembung semburan (bubble) yang jumlahnya telah mencapai lebih dari 70; dan
8)
Daerah di
tanggul cincin atau pusat semburan telah mengalami penurunan tanah (land subsidence) yang sangat
signifikan, pernah mencapai kecepatan sekitar 40 cm/minggu.
Perhitungan
sementara rasio antara volume air dan uap pada batuan reservoir dengan
kecepatan semburan telah menghasilkan kesimpulan sementara skenario terburuk
durasi semburan dapat berkisar antara 20-30 tahun.
Fenomena Penurunan (Subsidence) Yang Patut
Menjadi Perhatian
Tumbuh dan berkembangan Lupsi sebagai mud volcano
memberikan implikasi yang patut diwaspadai. Bahwa pada salah satu model yang
telah dipublikasikan dan dipresentasikan pada masyarakat ilmiah dari manca
negara (Misalnya Davis et al., 2007), juga menyangkut pertanyaan dari
masyarakat awam antara lain bagaimana bila dampak dari skenario lumpur sebagai
batuan penutup? Secara berlanjut dan dalam volume yang besar dierosi oleh jet steam (uap/lumpur) selanjutnya
dierupsikan ke ‘big hole’ sebagai lumpur panas?
Richard Davies (2007) pakar kebumian dari Inggris, dalam
publikasinya di GSA Today berjudul Birth of a mud volcano: East Java (29 May
2006), telah mengusulkan bahwa pada perkembangan selanjutnya, Lupsi akan
memasuki tahapan dimana di sekitar kawah akan terjadinya penurunan tanah dengan
pola seperti runtuh (sag-like subsidence). Sedangkan di daerah genangan
fenomena tersebut akan mengecil.
Pola ini konsisten dengan ciri-ciri mud volcano lainnya.
Ditambahkan adanya penurunan tanah yang juga menyebabkan pipa gas yang terkubur
oleh gunung lumpur telah pecah. Selanjutnya fenomena subsidence di tanggul
cincin menunjukkan bahwa keruntuhan (collapse) di pusat semburan merupakan suatu realita.
Sehubungan dengan hal di atas, ke depan Bapel BPLS harus
segera menindaklanjuti dengan berbagai teknologi yang mungkin untuk dapat dilakukannya
pemantauan fenomena land subsidence secara umum dan khususnya sag-like
subsidence, secara berkelanjutan dan dapat diikuti secara faktual. Agar didapatkan
data&informasi dan knowledge yang memadai, selanjutnya digunakan
sebagai alat bantu untuk meminimalkan kemungkinan potensi bencana geologi (geological hazard) sebagai dampak
berganda (multiplier impact) dari perkembangan mud volcano pada tahap
dewasa.
Pengaliran lumpur panas ke utara Pond PerumTAS dan implikasinya
Peraturan Presiden No. 14/2007 tentang BPLS khususnya Pasal 15 (5) telah
memberikan kebijakan (policy direction) terhadap berbagai upaya
penanggulangan semburan lumpur, dibarengi penanganan luapan lumpur, dengan
mengalirkannya ke selatan ke Kali Porong melalui sarana tanggul utama.
Citra satelit terbaru yang diambil tanggal 22 November 2005 mengindikasikan bahwa
pengaliran Lusi ke utara telah membentuk pola aliran (drainage pattern) sedimen
kipas (fan sediment) semi radial dengan apek merupakan outlet dari
overflow 44 di sebelah timur pusat semburan (big hole).
Di bagian depan dari sedimen kipas (front of fan sediment) diindikasikan
genangan air, yang paling banyak berada di bagian baratlaut. Hal ini menunjukkan
adanya topografi yang relatif lebih rendah (topographic low), dari suatu
geometri mud volcano.
Hal yang menarik bahwa sebelum diputusnya pipa gas, yang menempati
posisi memanjang arah barat-timur di utara pusat semburan. Saat terjadinya pengaliran
lumpur ke utara, beberapa bagian dari aliran sedimen gaya berat (sediment
gravity flow) telah dibelokkan ke arah barat. Sehingga memberikan dampak
terhadap tekanan atau dorongan sedimen horizontal (sediment push),
antara lain pada tanggul di Siring Timur. Yang pada akhirnya terpaksa harus
direlakan untuk digenangi luapan dari Pond PerumTAS bagian barat.
Namun, setelah pipa gas tersebut diputus dan saat ini posisinya
melintang arah utara-selatan sejajar dengan arah memanjang tanggul Renokenongo
(1-5), ternyata pola aliran ke barat (westward drainage pattern) masih
terus berkelanjutan (continuing) dengan mengikuti jalur lama (existing
track).
Kondisi ini telah memberikan implikasi serius, antara lain:
(1)
Tanggul
10-13 sebagai pertahanan lingkar dalam (inner defense) telah bocor,
diikuti melimpas. Akhirnya terpaksa diambil keputusan yang sulit dari opsi yang
tidak banyak tersedia, yaitu harus ditinggalkan selama-lamanya (the end of
the game);
(2)
Pond Siring
di sisi barat jalan arteri dan rel kereta api yang baru dibangun (saat ini
mendekati elevasi +11) telah dihubungkan dengan Pond PerumTAS melalui overflow
yang permanen. Namun kecepatan pengaliran air ke dalam Pond Siring tersebut
telah berlangsung dengan kecepatan yang relatif tinggi (high rate of flow);
(3)
Akses jalan
tanggul dari sisi Siring yaitu Koramil-Pos R1, pada hakekatnya merupakan salah
satu infrastruktur kritis (critical infrastructure) sebagai sub-sistem
pengendalian semburan dan luapan lumpur di ring dalam. Namun akses jalan
tanggul tersebut kini harus terus ditinggikan, seiring dengan terjadinya
kenaikan muka air di Pond Siring;
(4)
Tanggul di
timur di utara Reno (T 67) kembali jebol dan Pond Glagaharum yang baru selesai
di bangun juga mulai terisi air mengikuti jejak Pond Siring; dan
(5)
Telah
terjadi rembesan di permukaan dan kenaikan muka air sumur gali penduduk di
Siring Barat, yang dipersepsikan terjadi karena adanya pengisian Pond Siring
yang baru selesai pembuatannya. Keresahan warga tersebut, telah menjadi
perhatian Bapel BPLS antara lain dengan melakukan investigasi terhadap
penyebabnya serta mengerahkan pompa. Disamping itu agar mendapatkan solusi yang
rasional, Bapel BPLS telah mengundang Badan Geologi DESDM untuk mengirimkan tim
dari Pusat Geologi Lingkungan, yang mempunyai kompetensi untuk menangani hal
tersebut.
Dengan demikian realita yang dihadapi sekaligus sebagai isu kritis
adalah konsekuensi pengaliran Lusi ke utara secara berkelanjutan dapat
memberikan implikasi:
(1)Pond Siring dan berikutnya Pond Osaka (sedang di bangun) merupakan satu-satunya
benteng terakhir untuk mengamankan infrastruktur vital jalan nasional dan rel
kereta api;
(2)Belum memasuki musim penghujan, kolam penampungan di utara sudah
menghadapi krisis daya tampungnya, bagaimana bila menghadapi musim penghujan
dengan skenario curah hujan tinggi; dan
(3)Kecepatan membangun tanggul permanen di ring luar sektor utara, bisa
kalah cepat dengan kecepatan luapan lumpur, antara lain karena juga dihadapkan
pada permasalahan sosial yang mengemuka.
Pengaliran Lusi ke Selatan
Citra satelit Ikonos 22 November 2007, bila dibandingkan dengan dua
bulan sebelumnya (Oktober dan September 2007), memperlihatkan indikasi kurang
terbentuknya suatu pola aliran yang berkelanjutan (continuous drainage
pattern) ke arah selatan melalui jalur barat, sebagaimana yang dapat
dibandingkan dengan hal yang terjadi pada aliran ke utara di Pond PerumTAS
(membentuk pola aliran sedimen kipas).
Aliran yang dimaksud sangat diharapkan terjadi secara alami (natural
process) yang hanya dimungkinkan bila terdapat adanya perbedaan ketinggian
topografi yang cukup signifikan (significance topographic gradient).
Sementara itu, pengaliran lumpur ke selatan dari daerah pusat semburan
yang selama ini telah berlangsung secara berkelanjutan, sejak Mei 2007 (titik
awal Bapel BPLS menerima pengalihan dari Timnas PSLS) adalah dengan
mengandalkan jalur kanal barat, dimana kondisi sangat tergantung pada
ketersediaan (availability) dan
kinerja (performance) mekanisasi dari
alat-alat berat, yaitu clam cell, long arm excavator, dan excavator
ponton.
Dengan kondisi di atas suatu realita bahwa rasio kesulitan (handicap
ratio) terhadap pengaliran ke selatan bila dibandingkan ke utara menjadi
semakin meningkat. Hal ini disamping karena faktor teknis menyangkut sistem
mekanisasi pengaliran dan pemompaan, juga dipengaruhi faktor alami yang tidak
terlepas dari dinamika perkembangan geometri mud volcano serta terjadinya
proses geologi (geological processes) yaitu hadirnya penurunan tanah (land
subsidence), dan deformasi struktur geologi (patahan).
Pengaliran Lusi Ke laut melalui K. Porong: Antara harapan dan tantangan
Peraturan Presiden No. 14/2007 telah memberikan arah kebijakan terhadap
pengaliran lumpur dari pusat semburan ke selatan. Namun tidak memperinci lebih
lanjut terkait dengan implementasinya.
Diasumsikan bahwa pengaliran lumpur ke selatan dimaksud adalah ke K.
Porong, untuk selanjutnya secara alami akan di kendalikan oleh sistem arus sungai (river
current system) menuju jalur (track line) ke muara, kawasan pesisir
dan akhirnya ke Laut (Selat Madura).
Sehubungan dengan hal tersebut Presiden pada bulan
Oktober 2007 telah memberikan arahan dengan memilih pengaliran ke K Porong
sebagai alternatif Konsep Tetap Penanganan Luapan Lumpur. Sebagai konsekuensi
maka mengantisipasi dampak negatif kemungkinan penurunan daya dukung K Porong
yang berfungsi sebagai banjir kanal, maka secara terintegrasi K. Porong harus
terus dinormalisasikan secara komprehensif, integral dan holistik.
Sehubungan dengan pemilihan opsi pembuangan lumpur
ke laut melalui K. Porong maka pakar geologi, antara lain Prof. Dr.
Koesoemadinata dalam berbagai kesempatan telah memperkuat rasionalisasi dengan
fakta sejarah geologi (geological history fact) bahwa Lumpur Siring
menunjukkan lingkungan pengendapan di Selat Madura purba (paleo Madura
Strait), sehingga pangaliran tersebut pada hakekatnya mengembalikannya ke
tempat asalnya di Selat Madura yang sekarang (modern Madura Strait).
Dilematis yang sekaligus sebagai tantangan bagi
BPLS adalah:
(1)Pembuangan lumpur selama musim
kering tahun 2007, telah memicu proses sedimentasi dengan pola sedimen kipas (fan
sediment) di arah hulu (proximal) dan berangsung menjadi bentuk pita
mamanjang (long tape) ke arah hilir (distal). Sehingga untuk
megembalikan daya dukung K Porong telah dikerahkan mekanisasi (kapal keruk dan excavator
ponton) untuk menormalisasinya bersamaan dengan daya alir dari sistem
sungai sendiri;
(2)Sampai awal bulan Desember
2007, ternyata besarnya debit aliran K. Porong masih jauh dari angka normal
yang diharapkan, agar upaya penghancuran konsentrasi sedimen kipas yang padu (compacted
fan sediment) di daerah hulu dapat optimal;
(3)Normalisasi K. Porong tidak
dapat dilakukan secara parsial, harus terintegrasi termasuk pengelolaan kawasan
muara zona pesisir (coastal zone management) dengan memperhatikan
potensi dampak lingkungan yang terkecil;
(4)Diperlukan pengarahan alat
bantu (tool) yaitu kapal keruk dan excavator ponton dalam jumlah yang
memadai. Agar upaya penghancuran sedimen di daerah hulu, tidak sekedar
memindahkannya pada daerah hilirnya Namun terjadi normalisasi secara estafet
berkelanjutan hulu-hilir; dan
(5)Masih terdapat ketidak
sepakatan dari berbagai kalangan (Pemerintah daerah, Pakar, dan Masyarakat
setempat) terhadap misi pembuangan lumpur ke K Porong, yang saat itu merupakan
opsi satu-satunya untuk mengamankan agar lumpur dapat tetap dikelola secara
aman di dalam daerah peta terdampak 22 Maret 2007. Bahkan telah terjadi demo
penolakan dengan berkekuatan cukup besar dari kelompok masyarakat dari
Kabupaten Pasuruan, yang berpotensi dapat menghalangi keberhasilan normalisas i Kali Porong.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa keberhasilan
pengaliran lumpur pada bagian proximal di Kali Porong yaitu outlet buangan
pompa dan dredger dari intake di Pond Utama dan baru-baru ini diperkuat dengan
pengerahan Pompa Toyo di depan titik 41. Merupakan salah satu bagian penting
untuk mengamankan keseluruhan skenario penanganan luapan lumpur.
Sebagai titik kritis (critical point) adalah tanggul-tanggul di lingkar dalam telah
mencapai ketinggian yang mendekati optimal dari daya dukungnya, sedangkan
tanggul utama di lingkar luar berpacu dengan tingkat kenaikan permukaan
air/lumpur. Disamping kendala non-teknis dalam pembuatan tanggul-tanggul baru
(yang aktual adalah Tanggul Renokenongo).
UPAYA PENANGGULANGAN
DAN PENANGANAN SEMBURAN
Posisi terhadap upaya penanggulangan
semburan lumpur
Upaya penanggulangan semburan lumpur merupakan
salah satu misi Bapel BPLS yang diamanahkan Peraturan Presiden No. 14/2007,
namun dengan berbagai rasionalisasi maka strategi dan konsep implementasinya
telah diaktualisasikan.
Setelah berbagai upaya penanggulangan semburan yang
telah dilakukan sebelumnya oleh Timnas PSLS, antara lain telah menerapkan
teknologi snubbing unit, relief well 1&2, dan insersi bola-bola beton
(status ditunda untuk redefinisi sasaran dan alat bantu). Namun sebegitu jauh
upaya tersebut belum membuahkan hasil sesuai dengan yang ekepektasi masyarakat.
Pertanyaan mendasar yang berkembang saat ini adalah mengapa Bapel BPLS
belum menentukan secara tegas langkah dan metoda tertentu untuk mematikan
semburan? Pada posisi terakhir berbagai mekanisme yang telah mendapatkan respon
sampai pada tingkat Dewan Pengarah BPLS antara lain double cofferdam
dengan pipa baja ganda (Takhahira), dan penerapan teori ‘Bournalli’,
yang pada hakekatnya keduanya menerapkan konsep ‘counter hydrostatic
pressure’.
Pola dan Sistem Penanganan Semburan dan Luapan
Anatomi
dan pengendali mekanisme luapan Lumpur Siring dapat disederhanakan menjadi
suatu sistem terintegrasi, sekurang-kurangnya terdiri dari 12 komponen, yaitu:
(1) Sumber air dan panas:
mengontrol kejadian dan intensitas semburan di bawah permukaan;
(2) Sumber semburan:
volume, tekanan, temperatur, dan komposisi;
(3) Media pembawa Lusi atau sistem
pengumpan: menghubungkan sumber dengan pusat semburan,
sekaligus berlangsungnya proses erosi batuan lempung dengan tekanan berlebih;
(4) Pusat semburan (eruption centre):
merupakan lokasi munculnya erupsi lumpur di permukaan bumi, mengandung air dan
uap panas;
(5) Media
pengaliran Lusi ke selatan melalui Kanal Barat: merupakan salah satu
mekanisme utama, disamping pengaliran ke intake melambung ke arah timur;
(6) Pond Utama (Selatan):
merupakan penampungan Lusi yang sebagian telah dalam kondisi membeku (padu);
(7) Intake:
pengumpulan lusi panas berasal dari Kanal Barat atau Tanggul Timur, sebelum
dialirkan ke K. Porong;
(8) Spill way:
lumpur panas mengalami proses pengenceran, pendinginan sebelum dipompa ke K.
Porong;
(9) K. Porong:
sebagai media antara pembuangan akhir ke Laut;
(10)Overflow di tanggul 44:
sebagai wahana pengaliran Lusi ke utara (PerumTAS);
(11)Pond PerumTAS (Utara):
wahana penampungan Lusi yang dialirkan melalui overflow 44.2 dari pusat
semburan;
(12) Tanggul-tanggul
di lingkar luar (outer ring): sebagai
benteng terluar dari peta area terdampak 22 Maret 2007.
Kondisi aktual luapan Lumpur
Siring, akan ditentukan oleh parameter:
(1)
Besarnya debit di pusat semburan,
(2)
Keseimbangan pengaliran ke selatan (sasaran utama)
dan ke utara (bersifat darurat atau sementara);
(3)
Konfigurasi morfologi buatan manusia; dan
(4)
Proses pengaliran secara
mekanik (dengan berbagai peralatan).
Grand Strategy
Grand Strategy yang diterapkan Bapel BPLS
adalah memprioritaskan untuk menyelamatkan penduduk dan memulihkan sendi-sendi
kehidupannya yang bermukim di sekitar pusat semburan, guna mencegah potensi
meluasnya area terdampak saat ini.
Diimplementasikan melalui
pembangunan dan revitalisasi tanggul-tanggul untuk memperluas daya tampung
kolam lumpur, serta mengoptimalkan pengaliran Lupsi ke Kali Porong.
Pada musim kering luapan
lumpur di tampung pada kolam-kolam lumpur utama. Sedangkan pada musim penghujan
disamping Lusi dari pusat semburan dialirkan secara optimal, di kolam
penampungan selanjutnya dikuras ke Kali Porong.
Pusat semburan terus
dipelihara (maintain) pada level yang
optimal (saat ini sekitar 17 m) dari daya dukungnya (carrying capacity) dengan menggunakan konstruksi yang fleksibel (flexible construction). Agar dapat
lebih tahan menghadapi fenomena penurunan tanah dengan intensitas yang sangat
tinggi dan deformasi geologi, dengan menerapkan konsep counter hydrostatic pressure.
Setelah luapan lumpur
benar-benar telah terkendali, maka berbagai alternatif upaya mematikan semburan
yang rasional dan diperkirakan mempunyai rasio keberhasilan yang tinggi (high success ratio) akan dilanjutkan.
Terkait dengan grand strategy penanggulangan Lupsi
tersebut, Presiden RI telah memberikan arahan sekaligus sebagai program
percepatan (fast tract programs). Yaitu
dengan memilih alternatif, untuk mengalirkan Lupsi ke laut (Selat Madura)
menggunakan media antara (bukan sasaran akhir) K. Porong.
Bersamaan dengan itu kebijakan
operasional yang ditempuh adalah mengoptimalkan langkah dan kegiatan
normalisasi K. Porong antara lain dengan mengerahkan kapal-kapal keruk dari
titik outlet di selatan Spillway sampai
ke daerah muara K. Porong.
Dari sudut pandang ilmu
kebumian, memperhatikan bahwa Lusi berasal dari batuan sedimen penutup (cap
rock) yang telah dibentuk jutaan tahun lalu di Delta Selat Madura purba
(paleo Madura Strait Delta). Maka pemilihan alternatif yang komplek dari opsi
yang tidak banyak tersedia tersebut, pada hakekatnya Lusi dikembalikan pada
tempat pembentukan awalnya, yaitu di Selat Madura yang sekarang (from paleo to modern Madura Strait).
Selain dampak sekunder bahwa
telah menggenangi lahan dan bangunan penduduk di daerah terdampak, Lusi telah
memberikan dampak tersier pada infrastruktur umum antara lain:
1)
Jalan tol telah terputus,
2)
Jalan nasional Porong-Gempol-Malang melebihi
kapasitas dan nyaris bersebelahan dengan Kolam Lumpur yang terus dialirkan
Lusi,
3)
Jaringan pipa gas alam, yang mengalirkan ke
konsumen industri telah dihentikan,
4)
Jaringan listrik SUTT, terganggu,
5)
Rel kreta api Surabaya-Malang terus mengalami
kerusakan, dan
6)
Jaringan distribusi air bersih PDAM, belasan kali
rusak.
Untuk itu agar roda-roda
kehidupan perekonomian khususnya daerah terdampak dan umumnya daerah
disekitarnya dapat dipulihkan, maka Bapel BPLS telah menetapkan relokasi
infrastruktur (infrastructure relocation) ke arah barat dari peta area
terdampak.
Hal itu dilaksanakan dengan
memperhitungkan faktor potensi bencana geologi (geological hazard potential)
relatif terhadap pusat semburan yang seminimal mungkin, disamping faktor
pengembangan wilayah (regional development) dan aspek ekonomi (economical
aspect)
Memperhatikan kondisi saat ini (actual
condition) bahwa luapan lumpur (mud flow) masih terus memberikan
ancaman terhadap keamanan masyarakat, disekitarnya, maka Bapel BPLS telah
menempatkan prioritas atas (highly priority) untuk penanganan luapan
lumpur, sebagaimana diamanahkan dalam Perpres 14/2007.
Upaya penanggulangan semburan di daerah pusat
semburan antara lain diimplementasikan dengan membangun tanggul permanen dengan
konstruksi yang fleksibel (sirtu, sebagai mana selama ini) dengan sasaran
mencapai elevasi + 21 (saat ini sekitar 17 m). Sasaran yang diharapkan semburan
dapat dikelola dan terkendali dan bila mungkin memperkecil kecepatan
semburannya (rate of eruption), sebagaimana konsep counter
hydrostatic pressure diuraikan di atas.
Strategi pemilihan opsi upaya penanggulangan
semburan ini juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagai konsekuensi perkembangan
Lusi saat ini yang telah umum diterima sebagai suatu mud volcano, bersamaan
dengan masih terjadinya semburan dengan dahsyatnya.
Namun secara bersamaan dengan itu diindikasikan
terjadi dampak geohazard, yaitu:
(1)Penurunan tanah (land
subsidence),
(2)Deformasi struktur geologi
(rekahan, patahan) masih berlangsung di sekitar pusat semburan,
(3)Terus terjadinya semburan
kecil atau gelembung (bubble) yang saat ini secara keseluruhan telah
mencapai 74, dari jumlah itu 44
diantaranya dengan status aktif, dan
(4)Tanggul cincin pada awalnya
tidak dirancang sebagai struktur tanggul permanen, sehingga terus memerlukan
pemeliharaan dan revitalisasi. Sehingga upaya penghentian dengan teknologi
apapun yang terkait langsung dengan struktur tanggul cincin, patut dilakukan
dengan ekstra kehati-hatian.
Di dalam operasi hari ke hari (day by day
operation), setelah semburan dapat dikendalikan, maka tahap selanjutnya
agar benteng daerah peta terdampak 22 Maret 2007 dapat dipertahankan, adalah
dengan mengoptimalkan sistem pengaliran lumpur (mud flowing) mulai dari
saat disemburkan di big hole dengan melalui dua rute yaitu:
1)
Melalui kanal barat sampai ke daerah pengumpul di
intake; dan
2)
Melalui jalur timur berakhir daerah pengumpul di
muka Tanggul 41.
Tahap terakhir dari proses penanganan luapan lumpur
dapat optimal adalah dengan meningkatkan kinerja dredger dan pompa lumpur (slurry
pump) untuk memompa lumpur dari sisi barat dan timur Pond Utama bagian
selatan secara tersebar di sepanjang K. Porong.
KOMITMEN DAN HARAPAN
Tidak Menjanjikan Kapan Semburan Akan
Berhenti
Mencermati realita bahwa Lusi
sebagai mud volcano yang oleh beberapa ahli disebut sebagai tandem atau
hibrida (hybrid) antara mud volcano yang konvensional dengan panas bumi (geothermal).
Disamping besarnya sumber reservoir lumpur dan air di bawah permukaan bumi (subsurface
earth).
Sehingga terdapat prediksi
perhitungan reservoir/volume rasio semburan menghasilkan angka durasi skenario terburuk (20-30 tahun).
Walaupun perkiraan keadaan tersebut merupakan baseline awal, yang harus
diklarifikasi lebih lanjut, sehingga
Bapel BPLS dalam posisi untuk tidak menjanjikan kapan semburan Lusi akan/dapat
dihentikan.
Komitmen Bekerja Keras dan Mengerahkan Sepenuhnya (All Out)
Memperhatikan kondisi di atas,
Bapel BPLS berkomitmen untuk bekerja sekeras-kerasnya (work hard) dan
mengerahkan sepenuh daya, tenaga dan fikiran (all out). Disertai dengan permhonan
doa restu dari Tuhan YME dan seluruh masyarakat Indonesia, agar fenomena alam
yang telah menimbulkan bancana/musibah Lusi ini dapat segera berakhir, atau
sekurang-kurangnya dapat dikurangi dampak yang terjadi pada warga di
sekelilingnya.
Untuk itu segala upaya
penanggulangan akan ditempuh dengan memperhatikan resiko lingkungan seminimal
mungkin. Keberhasilan Bapel BPLS menanggulangi Lusi yang komplek (sosial dan
teknik), juga akan ditentukan oleh berapa besar peran serta masyarakat baik
local, regional dan nasional. Dalam kaitan ini Bapel BPLS tidak mungkin akan
dapat melaksanakan dan menyelesaikan misi nasional penanggulangan bencana Lusi
yang diamanatkan secara sendiri.
Membangun Kebersamaan dalam menghadapi
Musibah/Bencana
Marilah kita bersama-sama
melihat ke depan (looking fore ward),
membangun kebersamaan dan bahu membahu seluruh komponen masyarakat (termasuk
masyarakat kampus), guna mengoptimalkan penanggulangan Lupsi.
Sehingga fenomena mud volcano
Lusi yang telah mengglobal ini, namun masih penuh misteri ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai suatu proses belajar (learning process).
Baik dikaitkan dengan kegiatan
eksplorasi sumber daya alam tidak terbarukan (non-renewable resources) khususnya di daerah yang memiliki tatanan
geologi/tektonik kompresif (geological
and tectonics framework). Maupun dalam menanggulangi suatu bencana atau
musibah yang disebabkan fenomena alam, khususnya sebagai dampak semburan lumpur
yang tidak terkendali, secara komprehensif (comprehensive),
integral dan holistik.
Peluang Lusi sebagai topik Tugas Akhir
sampai Disertasi
Bagi dunia pendidikan tinggi (higher education level) mengingat
fenomena mud volcano masih langka dan
khususnyaLusi masih penuh dengan misteri dan kontroversi.
Sehingga terbuka kesempatan
yang seluas-luasnya, sebagai wahana topik obyek penelitian S1, S2 dan S3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar