DINAMIKA LUSI SEPTEMBER 2011
Benang Merah
Pelaksanaan
penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya Lusi), pada status September 2011
berada pada awal peralihan dari musim panas ke musim penghujan dan ditandai
dengan beberapa kejadian khusus, bila dibandingkan dengan periode yang sama
baik pada tahun 2010, maupun pada tahun-tahun sebelumnya.
Selama
kurun waktu ini juga mencakup implementasi dari misi khusus tahunan, yaitu
menghadapi libur nasional Idul Fitri 2011. Sebegitu jauh kontribusi BPLS
dinilai cukup sukses, baik dilihat dari indikator tidak terjadinya
kejadian-kejadian langsung terkait semburan Lusi (semburan, luapan, geohazard
dan gejolak sosial masyarakat), maupun dalam menciptakan rasa aman dan nyaman
bagi masyarakat luas yang berada di sekitar wilayah kerja BPLS.
Di
bidang lingkungan hidup, program Wanamina telah memasuki tahapan persiapan
penanaman benih ikan budidaya. Sementara, itu kerjasama dengan Unbra di bidang
pengkajian lingkungan daerah aliran Kali Porong sampai pesisir, sedang
dipersiapkan implementasinya.
Dalam
rangka upaya peningkatan kinerja BPLS telah dilakukan evaluasi menyeluruh
terhadap proses masukan (input process)
dari keseluruhan sistem penanggulangan Lusi. Salah satu bagian penting adalah
terdapat keterbatasan ketersediaan SDM untuk mendukung Bidang Operasi, sehingga
diperlukan upaya khusus dan langkah terobosan.
Dinamika
umum Gunung Lusi pada puncak musim panas
Pada kondisi cuaca panas ini, untuk pertama
kalinya direkam hal-hal baru, yang secara keseluruhan tidak terjadi di masa
lalu, antara lain:
1)
Tidak terjadi defisit yang signifikan pada pasokan air
injeksi untuk kebutuhan operasi kapal keruk;
2)
Air bercampur koloid lumpur yang dihasilkan dari kawah,
secara fluktuatif terus mengalir melalui sistem sungai radial, dengan
intensitas yang stabil. Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa sumber air dari
semburan mud volcano Lusi berasal dari suatu reservoir dengan imbuhan bersifat
berlanjut (continuous rechargeable);
3)
Masih berlangsung fenomena aliran ‘banjir bandang’ (density
current) dan atau aliran bongkah (debris
flow), terutama terjadi di sektor Jatirejo (baratdaya);
4)
Terjadinya ekspansi bagian lereng atas ke lereng bawah dari
morfologi gunung, baik berbentuk sebagai akrasi lumpur padu (tumpukan), maupun
berupa aliran fluida ke daerah depresi;
5)
Bagian lereng bawah menerima kiriman air dari lereng atas gunung,
melalui sistem rekahan dan patahan (cracks
and fault system). Hal yang signifikan adalah pembentukan danau/cekungan
diisi air berlanjut dengan kanal memanjang barat laut-tenggara di selatan P70;
dan
6)
Sebagai klimaks, terjadinya deformasi yang sangat dahsyat
dalam intensitasnya dan mencakup wilayah yang luas di sebelah timur P68 sampai
di P67. Variasi deformasi terjadi baik di batas antara lereng bawah dengan
jaringan tanggul penahan lumpur, bagian lereng bawah, bahkan sampai di dalam
batas lereng atas. Berdasarkan pengamatan, telah ditetapkan saat ini sebagai
zona deformasi yang paling intensif (highly
deformed) di gunung Lusi.
Gambar 1.1
Deformasi yang intensif di bagian Utara Semburan
1.1. Kontribusi BPLS pada operasi ‘Ketupat 2011’
Pemanfaatan jalan arteri yang sedang
dibangun, sebagai momentum percepatan penuntasan pembangunan relokasi jalan
arteri Porong.
Secara
berlanjut BPLS telah memberikan kontribusi terhadap upaya pemerintah guna
menyukseskan Liburan Panjang Idul Fitri 2011.
Beberapa hal yang mendukung keberhasilan tersebut
adalah:
1) Cuaca pada musim panas yang berlangsung relatif tanpa interupsi. Sehingga
dapat dioptimalkan upaya mempertahankan agar PAT tidak meluas. Disamping itu
tingkat ancaman geohazard berada pada titik rendah (indikator dari intensitas bubble dan subsidence);
2) Kesiapan personil BPLS dalam melaksanakan tugas di hari libur, baik
konsinyasi di kantor pusat atau di lapangan;
3) Dioperasikannya secara darurat jalan relokasi arteri, antara lain dengan
pemasangan jembatan baja oleh pihak Pemprov Jatim. Sebelumnya, masih berkembang
kontroversi terkait aspek keamanan dan kenyamanan bagi pengguna sarana
tersebut; dan
4) Dioperasikannya jalan-jalan alternatif lainnya di sekitar dan di luar PAT,
yang sebelumnya telah dibangun atau direvitalisasi oleh BPLS, sehingga dapat
mengkontribusikan peran penting sebagai jalan alternatif, sekaligus mengurangi
kemacetan yang menjadi perhatian Pemerintah.
1.2. Peningkatan Proses Masukan dari Sistem Penanggulangan
Lusi
Sistem
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pada hakekatnya merupakan kesatuan sistem, dari
unsur-unsur: (1) Proses masukan (SDM, Iptek, Data Informasi,
Kelembagaan/Organisasi, Payung Hukum), ditunjang oleh aspek lingkungan,
keamanan serta kenyamanan operasi di dalam dan di luar PAT yang menjadi bagian
dari wilayah kerja BPLS; (2) Sebagai aset dasar adalah Wilayah Kerja BPLS yang
bersifat dinamis, selama lebih 4 tahun semakin luas. Di dalamnya mencakup
geografi, demografi, administrasi, geologi dan sumber daya alam (SDA); (3)
Sebagai proses perubahan (change process)
terdiri dari upaya pengelolaan semburan dan luapan, penanganan dampak sosial kemasyarakatan serta infrastruktur; dan (4) Postur dan kinerja proses
masukan, akan mempengaruhi luaran (output)
serta nilai tambah (outcome). Dicapai
berdasarkan pada serangkaian strategi, kebijakan, upaya dan langkah yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi yang dilakukan BPLS terhadap keseluruhan
proses masukan, maka aspek Sumber Daya Manusia (SDM) terutama pada Bidang
Operasi, serta ketidakpastian dari aspek Payung Hukum yang lebih aktual dengan
kondisi di lapangan, merupakan hal yang dinilai mempunyai kendala cukup
berarti. Bila ke depan kinerja BPLS akan ditingkatkan, sehingga dipandang perlu
ke dua aspek proses masukan dari sistem Penanggulangan Lusi dapat segera
mendapatkan pemecahannya.
Dinamika Tim
Terpadu (Timdu)
Dewan
Pengarah BPLS telah membentuk Tim Terpadu ’Kajian Wilayah Bahaya’ (selanjutnya
disebut Timdu), melalui payung hukum keputusan Ketua DP BPLS. Timdu mempunyai
tugas khusus dengan fokus untuk menentukan wilayah di luar PAT lainnya (Perpres
48/2008 dan Perpres 40/2009) untuk mendapatkan penanganan sosial kemasyarakatan
sebagai dampak berganda dari semburan dan luapan Lusi (geohazard).
Sesuai
SK Ketua DP BPLS, sebagai Ketua Timdu adalah Kepala Badan Geologi, KESDM, dan
Sekretaris Bapel BPLS telah ditunjuk selaku Sekretaris Timdu. Untuk
mengantisipasi tugas Timdu yang hasilnya akan digunakan sebagai alat bantu
proses pengambilan kebijakan dan keputusan terkait, maka selama bulan Agustus
telah dilakukan serangkaian pertemuan.
Pada
rapat koordinasi Timdu yang dilaksanakan di BPLS secara umum telah dapat
dikerucutkan alur pikir, antara lain:
1)
Tugas utama adalah menentukan secara obyektif kawasan bahaya
geohazard tanpa mengesampingkan pendekatan holistik, untuk selanjutnya
disampaikan ke DP BPLS;
2)
Penentuan cakupan wilayah yang akan dieksplorasi (covered area) tidak dibatasi oleh
posisi 45 RT. Namun, dengan memperhatikan perpaduan aspek geologi (pola gunung
lumpur dan deformasi sebagai dampak pembentukan kaldera), geografi (ciri
bentang alam) dan administrasi (batas-wilayah);
3)
Batas waktu (Cut off) dari
pengambilan data dan informasi, ditentukan pada akhir bulan Agustus 2011;
4)
Berdasarkan diagram alur pikir yang disajikan Ketua Timdu,
telah semakin dikembangkan tiga indikator utama sebagai dasar pengkajian, yaitu
(a) geohazard; (b) lingkungan, dan (c) sosial kemasyarakatan. Bahkan telah
mulai diterima masukan alternatif pembobotan dari ketiga indikator tersebut;
5)
Aspek proses alami geohazard yang telah disepakati secara
umum merupakan indikator/faktor yang dominan dengan menggunakan hasil kajian
dari dua institusi utama yang mempunyai kompetensi utama di bidang geohazard,
yaitu Badan Geologi, KESDM dan Bapel BPLS.
Sebagai
bagian proses pengembangan kelembagaan/organisasi Timdu yang cukup bermakna
adalah: (1) Telah mencermati pemaparan dari Tim Kajian bentukan Pemprov yang
berbasiskan pola pikir menyelamatkan masyarakat dalam menentukan bahwa wilayah
45 RT yang merupakan bagian dari keseluruhan daerah yang disurvei, yang telah
dinyatakan sebagai tidak layak huni; (2) Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), terlibat secara aktif dalam proses implementasi Timdu dalam
konteks pendampingan, yang tidak hanya pada audit akhir (post audit); dan (3) Memberdayakan lembaga/institusi terkait dari
Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi Jatim dan Kabupaten Sidoarjo),
sebagaimana tata kelola yang diatur pada SK pembentukan Timdu.
Mempertimbangkan
kondisi lingkungan strategi nasional, regional dan lokal, Timdu secara langsung
atau tidak langsung merasa ’tersandera’ dengan telah ditentukannya 45 RT
sebagai status ’tidak layak huni. Disamping itu, warga terkait terus mengadakan
pengkondisian dalam posisi ’menekan’ antara lain dengan tingkat ’spektakuler’
adalah melalui Demo sampai pada kondisi yang ekstrim memblokade jalan nasional
dan wilayah kerja BPLS.
Namun, untuk merespon kondisi tersebut, telah
ditetapkan bahwa Timdu dengan payung hukum yang ada serta berbasis
profesionalisme, akan melaksanakan pekerjaan yang penuh tantangan tersebut
dengan sebaik-baiknya, akuntabel, kredibel. Dimana kajian secara komprehensif,
integral dan holistik akan disampaikan
kepada DP BPLS untuk tahap pengambilan kebijakan dan keputusan akhir, yaitu
melalui Peraturan Presiden yang khusus (referensi Rancangan Perpres 2011).
1.3.
Peningkatan Eksplorasi ke Gunung Lusi dan kemajuan signifikan
Pada musim panas yang berlanjut tanpa interupsi,
eksplorasi ke gunung Lusi dapat dilakukan secara optimal. Sehingga telah
berhasil mengungkapkan berbagai fakta lapangan terkait dengan aspek semburan,
luapan dan deformasi di dalam PAT. Data dan informasi serta knowledge yang dihasilkan, merupakan
suatu alat bantu yang bernilai (valuable
tool) untuk: (1) Mengungkapkan beberapa misteri alam dari sistem mud volcano
Lusi yang paling unik di dunia dan menimbulkan kontroversi; (2),
Mengkonfirmasikan beberapa indikator secara obyektif seperti kondisi di sekitar
kawah (kick, asap, material, dll.), mekanisme sungai, dan mode deformasi pada
zona tumbukan dari atas ke bawah; dan (3) Pertimbangan terhadap potensi
ancaman, serta perkiraan keadaan ke depan dari fenomena semburan, luapan dan
deformasi, khususnya di dalam PAT.
Eksplorasi ke gunung Lusi yang telah diawali 15 Agustus
2010 dengan menancapkan bendera di sektor P43, sampai pada September 2011
eksplorasi telah berhasil mencapai titik terdekat mengelilingi bagian lereng
atas, yaitu bagian yang masih dapat diinjak. Hanya bagian terkecil di sektor
kawah baratdaya (Jatirejo) yang masih berstatus sebagai daerah belum diketahui (frontier region).
Gambar 1.2
Eksplorasi ke Gunung Lusi
Hal
signifikan dalam pengembangan SDM, adalah peningkatan pengalaman, kemahiran,
percaya diri bagi para personil di lapangan untuk dapat melakukan penjelajahan
gunung Lusi dengan aman, cermat dan efisien.
Hasil
khusus antara lain Tim Pendaki Gunung BPLS (dengan focal point, Divisi Gas BPLS) di dukung keamanan internal dan
sukarelawan, telah berhasil memberikan kontribusi penting dalam penemuan
kembali excavator yang hilang sejak April 2011, sehubungan jebolnya tanggul
P68. Disamping itu telah berhasil menemukan fenomena-fenomena khusus antara
lain keberadaan gryphon, dan danau luas yang tidak terlihat dari tanggul,
mengkonfirmasikan jalur aliran lumpur yang konvensional (seperti jalan tol) di sektor
baratdaya dan tenggara, dan lain-lain.
Gambar 1.3 Penemuan Gryphon di selatan Pabrik “Osaka”
1.4. Dinamika Postur dan Perilaku Mud Volcano Lusi
Potret mud volcano Lusi saat ini
Kondisi semburan mud volcano Lusi status September 2011
masih konsisten, merupakan transisi dari awalnya suatu semburan yang didominasi
oleh lumpur panas dengan kecepatan semburan yang tinggi, dan intensitas yang
dahsyat dan bersifat merusak. Kondisi ini telah berubah menjadi suatu semburan
menuju pada tahap dormant (dormant
trending), dicirikan oleh semburan dengan uap putih (steam vavour), dibarengi tendangan kick lumpur yang bersifat temporal. Material yang dikeluarkan
terutama air yang bervariasi temperaturnya (panas, hangat dan dingin).
Eksplorasi ke gunung lusi, telah mengkonfirmasikan bahwa
hembusan gas H2S atau metan, secara umum tidak berbau atau berbau lemah. Hal
ini sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun yang lalu. Saat
itu semburan Lusi dengan karakteristik yang dahsyat dan merusak.
Material yang dimuntahkan oleh mud volcano Lusi yang
telah berlangsung sejak tahun 2010 yang lalu terutama oleh material air, yang
dialirkan melalui sistem sungai yang relatif radial dari morfologi suatu
gunung. Disamping itu masih diselingi oleh terjadinya aliran lahar dingin atau
aliran bongkah, terutama merupakan material rombakan atau pindahan (rework) dari yang sebelumnya menempati
bagian lereng atas atau bagian atas dari lereng bawah. Dengan cepat endapan
lumpur rombakan tersebut akan mengendap di daerah cekungan melalui saluran
konvensional yang telah terbangun.
Pada kondisi tersebut
maka paradigma pengaliran lumpur panas ke Kali Porong, telah diaktualisasi
menjadi: (1) Pengaliran lumpur padu ke
kali porong melalui tahap pengerukan, percampuran dengan air injeksi, dan
pemompaan campuran material lumpur dengan air injeksi selanjutnya masuk ke
outlet di Kali Porong. Untuk selanjutnya secara alami dipindahkan dengan fraksi
koloidal ke dalam sistem Laut (Selat Madura); (2) Pemindahan (replacement) dan pengangkutan (transport) bagian lumpur padu dari
lereng bawah gunung Lusi, menggunakan alat berat.
Dinamika Umum
Peningkatan eksplorasi ke lokasi terdekat dari kawah
Lusi, dipadukan dengan evaluasi citra satelit dan helikopter, dan data tersedia
lainnya, telah memungkinkan dinamika pada postur dan perilaku semburan Lusi
dapat dipahami secara lebih komprehensif dan terpadu. Postur Lusi masih
berlanjut dengan mengalami dinamika
dalam kurun waktu hari-minggu-bulan, baik secara morfologi, maupun keseluruhan.
Secara umum pada musim panas ini, permukaan lumpur yang
semakin kering telah menimbulkan efek pada pembentukan retakan dan patahan
(normal, naik, geser), yang sedikit banyak sebagai pemicu pergerakan dari masa
lumpur padu di permukaan (referensi P68). Struktur geologi yang teramati di
permukaan, dapat terbentuk sebagai reaktifasi dari struktur yang telah ada
sebelumnya, yaitu: (a) Patahan radial (radial
faults), terkait fenomena awal pembentukan kaldera (caldera formation); (b) Arah aliran dari lumpur dari kawah ke daerah
depresi secara radial, yang umumnya sejajar dengan arah sungai, atau merupakan
struktur patahan (normal, naik dan geser) baru dengan berbagai mekanisme
pembentukannya. Beberapa diantaranya telah berperan dalam proses pengaliran
fluida, dalam hal ini umumnya keberadaan sungai awalnya dipicu oleh pembentukan
patahan.
Sumbu panjang Kawah Lusi arah barat daya – timur laut
juga telah teramati mengalami perubahan dari kondisi terakhir Juni 2011 (barat
laut-tenggara), dimana bagian lereng atas di beberapa lokasi telah berekspansi
ke arah lereng bawahnya. Hal ini baik dikendalikan oleh struktur geologi maupun
secara alami oleh proses pergerakan masa dalam kondisi basah dan lunak (downward sliding). Hal ini sebagaimana
yang dapat diidentifikasikan pada citra satelit CRISP terbaru diambil 7 Agustus
2011.
Perkembangan baru di bagian bawah dari zona lereng atas
dan lereng bawah, pada beberapa tempat telah terbentuk sebagai daerah depresi
sebagai palung sempit atau cekungan. Fakta lapangan menunjukkan pada daerah depresi
umumnya berasosiasi dengan berkembangnya ’gryphons’.
Analisis hasil eksplorasi ke gunung Lusi memperlihatkan bahwa pembentuk daerah
depresi baru yang telah diisi air terbentuk di lereng atas secara melingkar Hal
ini sebagai dampak dari terbentuknya morfostruktur kubah yang landai (gently dome). Sedangkan di bagian depan
tanggul daerah depresi (contoh di Siring-Jatirejo) terkait pembentukan
punggungan antiklin yang membatasi cekungan sinklin (syncline basin), sangat umum merupakan struktur pada mode kompresif
pada zona tumbukan. Di sektor Siring, saat ini struktur cekungan antiklin telah
diisi oleh air, menyebabkan pada musim kering kondisi lumpur di permukaan
basah.
Gambar 1.4 Posture
dan pembagian Morfo-Struktur Gunung Lusi berdasarkan Google Earth 7 Agustus
2011
Dinamika Khusus
Gunung Lusi (Agustus-September 2011)
Selama
kurun waktu Agustus-September, secara keseluruhan dinamika umum postur dan
perilaku gunung Lusi yang berlangsung signifikan adalah:
·
Proses reorganisasi morfologi gunung lumpur secara vertikal
terjadi pada zona tumbukan TAS-Osaka (utara) dan Putul Siring, sebagai
manifestasi berlanjutnya persentuhan bagian lereng bawah dengan jaringan
tanggul penahan lumpur. Demikian pula ekspansi lereng atas ke arah lereng bawah
sebagaimana yang diamati, secara langsung di zona batas (upper-lower slope boundary zone) dan didukung oleh hasil evaluasi
citra satelit terbaru;
Gambar 1.5 Zona
Tumbukan Siring-Barat
·
Selama periode ini telah berlangsung interval ’banjir
bandang’ lumpur dingin sampai hangat, terutama yang mengalir melalui
saluran-saluran konvensional yang telah terbentuk. Hal yang signifikan adalah
di baratdaya (Jatirejo), selatan (Pond Utama), sebagai implikasi pada dimensi
vertikal, debris flow yang terjadi relatif cepat, telah menggenangi bagian sisi
barat Pond Jatirejo. Sedangkan secara lateral, air dan lumpur halus telah
berekspansi ke selatan, diendapkan di utara Pond Utama, dengan warna yang khas,
abu-abu di atas lumpur sangat padu dari Pond Utama berwarna coklat terang;
·
Terjadinya longsoran, pergerakan bagian lereng bawah di
sektor timur P68, dimana saat ini ditentukan daerah yang mengalami deformasi
permukaan yang paling dahsyat baik di batas lereng atas-bawah, lereng bawah dan
titik kritis pada persentuhan dengan tanggul P68-67;
·
Terjadinya deformasi membentuk patahan geser (utara-selatan)
dan patahan normal dengan arah tegak lurus dari arah sesar geser tersebut, di
timur P70. Dimana pada perkembangan terakhir telah berperan sebagai muara kali
baru yang mengalir ke Cekungan di P69;
Gambar 1.6
Pembentukan Sungai dan danau baru di barat laut Gunung Lusi, Sektor P70
·
Terjadinya deformasi berupa patahan geser dan patahan normal
(pulled apart), di utara Lusi Dome (P25), dimana pergerakan relatif ke selatan
ke arah Pond utama dapat diamati sekitar 6 m (terukur dari pergeseran kedudukan
bendera).
Gambar 1.7 Penafsiran Deformasi di Utara Lusi Dome (P25)
Catatan Penting Penemuan excavator yang hilang, pasca tanggul P 68 Jebol,
April 2011: Implikasi pada kewaspadaan menghadapi musim hujan
Pada 5 September 2011, Tim Pendaki Gunung Lusi (TPGL),
telah berhasil mengkonfirmasikan terhadap penemuan kembali excavator (di lapangan disebut dengan kode Jangkrik). Secara
misterius telah hilang, bersamaan dengan jebolnya tanggul P68, pada 26 April
2011 (berada pada musim penghujan).
Selama ini berdasarkan posisi dari Jangkrik sebelum
hilang, yang menempati posisi tanggul di titik P68, maka dugaan kuat bahwa ia
telah hanyut ke arah utara (Dataran TAS), selanjutnya terkubur bersama dengan
pembentukan suatu bentang alam yaitu punggungan akrasi sesar naik (up thrust accretionary ridge). Sehingga
pencarian telah dilakukan terutama fokus pada daerah di utara tanggul P68.
Penemuan Jangkrik di sebelah barat, yang terkubur di
bawah material ‘debris flow’ yang mengalir dari sisi barat Punggungan Akrasi P68 tersebut, telah
memberikan suatu proses belajar terhadap fakta bahwa demikian dahsyatnya dampak
dari zona tumbukan (collision zone) antara
bagian atas dari lereng bawah gunung Lusi, terhadap ketahanan tanggul penahan
luapan lumpur. Demikian pula betapa spektakularnya kekuatan arus pekat dalam
membawa Jangkrik dengan bobot belasan ton, sehingga mampu memindahkannya
sekitar 250m jauhnya dari lokasi awalnya.
Gambar 1.8 Penemuan
Excavator yang telah hilang
Skenario
menyeluruh dari temuan jangkrik, diintegrasikan dengan ‘knowledge, jebolnya
tanggul penahan luapan lumpur yang dapat diaktualisasikan adalah: (1) Lereng
bawah gunung Lusi telah bersentuhan/menekan secara frontal (arah tegak lurus) ke arah utara; (2) Daya dukung (carrying capacity) tanggul P68 mulai
kritis, diamati dengan pembentukan prisma akrasi atau ‘heavy’ di belakang P68;
(3) Air dari kawah dan air hujan telah meningkatkan fungsi sebagai ‘pelicin’
pada bagian atas lereng bawah yang telah mempunyai sudut kemiringan (sebagai
bidang longsor); (4) Pasangan patahan geser (strike
slip fault) P68 dengan berbagai mekanisme pemicu, telah terbentuk di bagian
lereng atas, dan terus berpropagasi ke utara (bawah), dibarengi dengan
pembentukan struktur patahan dan rekahan ‘pulled apart’ berarah (barat-timur)
tegak lurus dari arah patahan geser tersebut, sehingga mengurangi ketahanan
material di lereng; (5) Gerakan blok P68 ke utara mendesak ketahanan tanggul
sampai batas maksimum, akhirnya memicu terjadinya pengangkatan sesar naik (uplifted thrust) pada bagian yang
sebelumnya dibatasi oleh ‘heavy’.
Membentuk suatu Punggungan Prisma Akrasi P 68 yang dahsyat (tinggi, luas).
Bagian paling tebal dari morfo-struktur prisma akrasi, sangat umum ditentukan
sebagai tempat dari tekanan kompresif yang maksimum; (6) Akhirnya Struktur
Tanggul P68 Jebol sepanjang ~300m, pada ujung tanggul tersisa masih terdapat
rekahan dan patahan yang berarah utara-selatan. Sebagai dampak langsung
Jangkrik terguling ke arah utara; (7) Terjadi pengurasan air berbarengan dengan
terjadinya ‘debris flow’ yang membawa material rombakan di blok P68,
termasuk di dalamnya Jangkrik. Mengalir
mencari daerah depresi, terutama melalui pintu keluar di Jebolan Tanggul P 68
dibagian barat; dan (8) Saat mencapai sisi barat Prisma Akrasi, kekuatan arus
pekat dan arus bongkah telah mencapai titik kritis untuk dapat mengangkut alat berat lebih jauh lagi. Sehingga Jangkrik terhenti di titik
tersebut, terkubur oleh kelanjutan aliran arus pekat (lumpur, fluida, dan
bongkah).
Proses
pelajaran berharga dari Jebolnya tanggul 68 dan temuan Jangkrik (excavator), untuk meningkatkan pemahaman
dan selanjutnya kewaspadaan menghadapi fenomena khusus gerakan dan tumbukan
bagian lereng bawah gunung Lusi adalah:
·
Fenomena alami (natural
phenomena) pergerakan dan tumbukan bagian atas dari lereng bawah gunung
dengan jaringan tanggul buatan manusia (man
made dikes), telah berperan dalam memicu jebolnya tanggul P68, dengan
implikasi yang luas;
·
Secara konseptual material lereng bawah terutama disusun
oleh lumpur padu (kering di atas, lembek di bawah) sangat berbeda
karakteristiknya dengan lumpur cair (slurry
mud) yang selama ini dipahami (paradigma lama) pada misi pengaliran lumpur
ke Laut melalui Kali Porong;
·
Dampak dan penanganan terukur pada fenomena tumbukan di
sektor Osaka,
merupakan contoh nyata dari paradigma baru ini, yaitu memindahkan atau
mengangkut lumpur padu di zona tumbukan;
·
Musim penghujan dapat meningkatkan daya gerak lereng bagian
atas lereng bawah, ke arah bawah, sehingga potensi ancaman akan meningkat bila
dibandingkan dengan pada musim panas;
·
Aliran arus pekat dan aliran bongkah yang dikendalikan dari
lereng atas sampai lereng bawah, mempunyai daya dorong yang demikian kuat
(seperti efek tsunami), yang menyebabkan alat berat excavator dengan bobot
belasan ton dapat dipindahkan sampai sekitar 250 m jauhnya, lebih besar dari
daya dorong yang ditimbulkan oleh banjir bandang yang selama ini telah
berlangsung di wilayah operasi kapal keruk di P25 dan P43.
1.5. Kelanjutan implementasi Wanamina: perwujudan
perlindungan lingkungan sungai dan Laut
Gambar 1.9 Wanamina Antara Harapan dan Realita
Sampai
saat ini masalah dampak lingkungan masih terus mendapatkan perhatian dari
berbagai pihak, termasuk konsekuensi pilihan opsi pembuangan lumpur ke laut
melalui Kali Porong.
Pengamatan
pada awal September 2011 (musim kering dan laut surut) pada sistem pengaliran
lumpur dari hulu Kali Porong hingga kawasan pantai di Selat Madura, dapat
mengungkapkan fakta-fakta penting yaitu: (1) Tidak terjadi pengendapan lumpur
sampai tingkat yang membendung badan sungai (skenario terburuk), baik di daerah
outlet dan daerah aliran ke arah hilir; (2) Kondisi badan tanggul penahan
sepanjang aliran terjaga; (3) Tidak terlihat adanya kerusakan lingkungan di
sepanjang aliran Kali Porong. Hal ini dapat langsung dilihat secara visual,
dari keberadaan bakau dan tumbuhan lainnya; (4) Tumbuhnya tanaman bakau secara
alami, pada kedua sisi sungai dari hamparan daratan yang timbul. Bahkan pada
sisi selatan Pulau Lumpur, burung-burung melangsungkan kehidupannya, dengan
mencari makan secara berkelompok besar. Hal ini mengindikasikan telah
berlangsungnya proses alami tanpa adanya pencemaran ‘material beracun’,
sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak pihak; (5) Nelayan tetap dapat
melangsungkan kegiatannya menangkap ikan di sekitar muara dan Pulau Lusi; (6)
Tumbuhan bakau yang ditanam sejak sekitar tahun 2009, di Pulau Lumpur telah
tumbuh dan berkembang dengan baik. Dibarengi dengan bakau yang alami, terutama
di sisi selatan tanggul penahan gelombang; (7) Pengembangan Sistem Wanamina
saat ini bagian ‘Wana’ (pohon bakau) sedang berlangsung dan akan dilanjutkan
pada tahap penanaman benih ‘Mina’ (budidaya ikan), merupakan salah satu
kesatuan sistem keberadaan Pulau Lumpur sebagai perlindungan dan pengelolaan
kawasan pesisir dan pulau kecil (coastal
zone and small island protection and management), yang sekaligus berperan
sebagai pemberdayaan masyarakat pesisir setempat untuk meningkatkan
penghidupannya; dan (8) Pembangunan jalan Porong-Tlocor, serta dilengkapi
sarana pelabuhan nelayan tradisional, merupakan kesatuan sistem dengan Pulau
Lumpur, dalam pengembangan wilayah muka air sungai dan laut (water front area).
Sebagai pendukung pada tataran kebijakan adalah: (1)
Mendapatkan arah kebijakan dari Bapak Presiden RI tentang normalisasi Porong
dan Pemanfaatan ke depan Pulau Lumpur menuju aspek keekonomiannya; (2) BPLS
telah melaksanakan kajian aspek Strategic
Assessment Environment (SEA); dan (3) Aspek teknis dinamika wilayah sungai
dan pesisir telah bersinergi dengan Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), Pusat
Pengembangan Geologi Kelautan, KESDM, dan saat ini sedang dalam persiapan kajian aspek lingkungan dan dampak ekonomi
sosial, bersinergi dengan Universitas Brawijaya.
Gambar 1.10 Mempertahankan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
1.6.
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian
Potensi Ancaman gerakan lereng di Zona Siring dan Alternatif Solusi
Dampak dari pergerakan bagian lereng bawah gunung yang
berlanjut pada zona Siring telah memberikan implikasi terhadap tingginya muka
lumpur relatif terhadap muka tanggul penahan lumpur. Bahkan bila diukur pada
bagian agak ke arah lereng, proyeksi dari ketinggian telah lebih besar dari
permukaan tanggul penahan lumpur.
Aspek kestrategisan sektor barat yang menjadi pertimbangan, adalah:
1) Merupakan lokasi terdekat dengan kawah bagian barat, sehingga menerima
respon yang lebih besar terhadap dinamika di kawah dan lereng atas-bawah;
2) Lokasinya berhadapan langsung dengan infrastruktur jaringan rel kereta api
dan jalan arteri. Tidak terdapat buffer
zone, untuk pengaman dan penanganan. Sebagai perbandingan zone Osaka dan
TAS mempunyai buffer zone di utaranya;
3) Karena berhadapan dengan material lumpur padu (dense mud) dan bukan lumpur encer, bila sewaktu-waktu terjadi fase
gerakan lereng yang signifikan (model di P 68), maka operasi kapal keruk yang
ada di selatannya, kurang dapat dioptimalkan untuk dalam waktu yang cepat dapat
menangani potensi bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pada skenario kasus terburuk
adalah tanggul mengalami longsoran atau runtuh (pelajaran P68).
4) Dampak negatif yang dahsyat dari fenomena gerakan lereng bawah di zona
tumbukan yang meluas dari P67-P71 di utara dan zona tumbukan Siring-Putul di
barat PAT, tidak dapat ditangani dengan pendekatan ‘penanganan lumpur panas’
berbentuk slurry mud. Titik kritis
adalah bagaimana mengurangi tekanan horisontal oleh masa lumpur padu yang
bergerak;
Salah satu opsi yang ada adalah dengan memindahkan secara
berkelanjutan dan terkendali, ke tempat penampungan yang lebih luas. Dalam
kaitan ini opsi tersebut yang sangat kritis tidak banyak tersedia, hanya
terdapat pada kelanjutan pembangunan Tanggul utara (Ketapang-Kedungbendo), yang
masih tertahan oleh belum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar