JANUARI
2011: DINAMIKA LUSI
Dikontribusikan Oleh: Dr. Ir. Hardi Prasetyo
Januari 2011
Dinamika
Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya Lusi) Januari 2011 merupakan
edisi pertama dari Rangkaian Dinamika Lusi 2011. Di dalamnya mencakup
pelaksanaan pada kurun akhir Desember 2010.
Sehingga luapan air telah melimpas dan
menggenangi wilayah desa Gempolsari (2 RT), Glagaharum (2 RT), Sentul (4 RT),
Plumbon dan Penatarsewu.
Sebagian warga terdampak luapan air
tersebut, telah menuntut kompensasi atau ganti rugi ke BPLS.
Sehingga dalam waktu singkat telah
meningkatkan muka lumpur secara lokal, yaitu di sebelah timur dari zona
tumbukan TAS. Namun kejadian ini tidak memberikan dampak yang berarti.
Sehingga tanggul penahan lumpur terutama
di P 21c terpaksa terus ditinggikan. Sampai mendekati angka kritis yang
ditetapkan, yaitu 11 m.
Di sekitar daerah tumbukan ini waking
minimal mencapai 120cm, lumpur di sisi dalam tanggul mulai digali, untuk
mengurangi potensi kenaikan muka lumpur yang ekstrim.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa setiap
pagi, kanal sempit yang telah dikeruk sehari sebelumnya, telah diisi kembali
oleh lumpur padu.
Hal ini mengindikasikan bahwa gerakan
lereng bawah gunung lumpur terutama ke arah daerah depresi masih terus
berlangsung.
Pada tanggal 30 Desember 2010, bagian
dari dasar bronjong yang sedang dikerjakan, telah mengalami ‘sliding’, namun dengan intensitas yang
minor. Kejadian ini telah mendapatkan perhatian khusus dari pimpinan BPLS,
untuk mencegah potensi bencana yang lebih besar lagi (pasca ambles tanggul
Glagaharum, yang telah menimbulkan masalah sosial kemasyarakatan baru).
Sehingga dipandang perlu untuk dilakukan
langkah-langkah penyempurnaan penanganan Kebencanaan pada Kejadian Tanggap
Darurat ke depan. Beberapa langkah yang ditempuh:
Pada tahun-tahun sebelumnya baik warga
atau masyarakat umum baik di Indonesia atau di manca Negara, menggunakan
momentum durasi tahunan semburan Lusi sebagai suatu proses ‘perenungan’ sampai
ke konsolidasi upaya mencari solusi terhadap Bencana Lusi, yang terasa telah
menjadi milik bersama warga dunia.
1)
Akan membangun kesamaan ‘knowledge’ dan persepsi terhadap suatu fakta lapangan terkait
perubahan cukup mendasar. Bahwa perkembangan Lusi saat ini telah menuju tahap ‘dormant’, sehingga potensi yang mungkin
ditimbulkan semburan semakin berkurang;
2)
Mud volcano Lusi masih terus melakukan
reorganisasi, termasuk dinamika deformasi, sehingga masih relevan posisi
kebijakan yang dianut selama ini. Bahwa semburan Lusi sebagai suatu mud
volcano, sulit dihentikan oleh teknologi yang tersedia saat ini; dan
3)
Rekonsiliasi para pemangku kepentingan Lusi,
dari posisi masa lalu yang penuh dengan kontroversi dan perbedaan pendapat
terkait penyebab semburan. Untuk selanjutnya lebih realistis melihat ke depan
menuju suatu solusi yang holistik.
Sehingga dipandang perlu untuk
menyamakan ‘knowledge’ dan persepsi
umum terhadap esensi dari Perubahan Paradigma Semburan dan Luapan mud volcano
Lusi.
Mempunyai analogi perkembangan dengan
mud volcano Bleduk Kuwu di Jawa Tengah. Kondisi luapan pada Januari 2011 dimana
luaran material semburan di kawah terutama didominasi air, temperatur dipantau
di lereng yang semakin dingin. Sehingga posisi dormant menjadi semakin mantap.
Namun titik semburan masih dinamis
(perubahan posisi, disertai kick lumpur, tanpa flow lumpur), dikomplemen dengan
masih terjadinya deformasi terutama amblesan dan patahan. Sehingga BPLS tetap
menentukan bahwa semburan Lusi masih sulit dihentikan oleh teknologi yang
tersedia saat ini.
a. Semburan
terus seperti saat ini dengan ‘kick lumpur’, namun luapan didominasi air yang
semakin dingin;
b. Semburan
terutama ‘kick’ berhenti atau mengecil berubah menjadi rembesan air ‘water seep’, model ideal dari Bleduk
Kuwu; dan
c. Semburan
kembali pada perilaku Lusi Panas (2006-2009) dengan kick tinggi, flow rate di atas 50.000 m3.
Disamping itu BPLS telah menyiapkan
antisipasi bila memasuki kasus skenario terburuk (the worst case scenario), yaitu kasus scenario ke III (Hot LUSI recurrent interval).
Ditujukan untuk mengetahui anatomi di
bawah permukaan (subsurface) dari
lokasi kawah pada pusat semburan yang saat ini. Karena semua informasi dan
knowledge selama ini terutama didasarkan pada informasi diambil sebelum
terjadinya semburan (2006);
a. Pengungkapan
misteri anatomi di bawah permukaan dari pusat semburan Lusi, serta asal mula (origin) sumber air, gas dan panas,
b. Pemantauan
dan analisis geohazard baik sebagai dampak berganda semburan Lusi atau
reaktivasi dari sistem Patahan Watukosek; dan
c. Model
pertumbuhan dan perkembangan Lusi serta implikasi pada pengembangan wilayah dan
lingkungan ke depan;
Terakhir pergerakan lereng dan lumpur
dining yang signifikan terjadi awal Januari di sebelah timur TAS. Fenomena ini
merupakan suatu rangkaian dari efek domino (impact
domino) yang terjadi beruntun dengan sekuen searah kebalikan perputaran jam
(counter clock). Berturut-turut
diawali di P 25 (baratdaya), P 43 (tenggara), Reno utara (timur);
i. Paling
dominan, Sungai P43 (timur) masuk ke Pond Reno,
ii. Sungai
P25 (baratdaya) masuk ke Pond Jatirejo,
iii. Sungai
Siring (barat), masuk ke depresi Siring selanjutnya masuk ke Pond Jatirejo; dan
iv. Sungai
TAS (utara), pada zona tumbukan TAS, masuk ke Pond Glagaharum;
Bila dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya (2007-2009). Di sisi lain efek reorganisasi mud volcano pasca
‘dormant’ dengan deformasi yang cenderung dengan pola radial diidentifikasikan meningkat,
sebagai konsekuensi berlangsungnya proses pembentukan kaldera (caldera formation).
Merupakan bagian tidak yang tidak dapat
dipisahkan dari mekanisme perkembangan suatu mud volcano.
Hal ini cenderung menentukan bahwa aspek
pembebanan lumpur (loading) dan hilangnya masa di bawah permukaan (mass
removal) sebagai pengendali utama, yang dikomplemen dengan reaktivasi sistem
Patahan Watukosek (Watukosek Fault
System).
15)Bubble
aktif terutama di luar PAT dengan jumlah dan intensitas yang berfluktuatif,
namun pada posisi 1 Januari 2011 cenderung menurun.
Kinerja Bapel BPLS dengan seluruh
komponen yang merupakan proses masukan (input
process) dari keseluruhan Sistem Penanggulangan Lusi dapat dioptimalkan.
Proses masukan terdiri dari: a) Sumber Daya Manusia (SDM); b) Penguatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi terapan; c) Data dan Informasi; d) Organisasi; e)
Peraturan dan Perundang-undangan sebagai Landasan Hukum;
Semburan Lusi dapat bertahan pada posisi
tahap perkembangan mud volcano yang semakin ‘dormant.
Atau sebagai suatu anugerah bila sampai pada tahap ‘berhenti secara alami’.
Sehingga potensi resiko yang ditimbulkan
langsung oleh semburan dapat diminimalkan atau ditiadakan sama sekali;
Paradigma baru dari kontroversi menuju
solusi yang holistik dapat diterima secara universal, dalam arti melihat suatu
realitas saat ini Lusi sebagai mud volcano menuju tahap dormant, sehingga fokus
ke depan lebih ditujukan menuju solusi yang permanen dan holistik.
Daripada mengembangkan kontroversi
terkait penyebab (causing) dan pemicu
(triggering) sebagai warisan masa
lalu. Yang sangat ideal untuk dijadikan sebagai suatu materi penelitian ilmiah di
Pendidikan Tinggi, untuk strata S2 atau S3.
4) Anatomi dan pengendali semburan semakin
jelas, misteri dapat diungkap, durasi hidup Lusi menjadi realistis:
Seiring perjalanan waktu, melalui berbagai upaya sehingga anatomi bawah
permukaan Lusi dapat diperjelas, dan misteri asal usul dari air, gas, dapat
diketahui.
Sehingga perkiraan durasi semburan Lusi
semakin dapat diperkirakan secara realitas, sebagai konsekuensi model durasi
semburan Lusi yang selama ini dianut 23-35 tahun harus ditinggalkan.
Demikian pula pertumbuhan gunung di
permukaan dapat dipantau secara berkelanjutan dari hari ke hari.
Sehingga adanya anomaly yang berdampak
negatif, secara cepat dapat dideteksi. Hal ini sebagai suatu sistem peringatan
dini (early warning), terhadap
potensi bahaya yang terjadi di luar perkiraan sebelumnya.
Dengan Pola Tetap dan ‘grand strategy’ penanganan luapan Lusi
yang diaktualisasi karena adanya perubahan mendasar dari mengalirkan Lusi
fluida dan Panas menjadi Lumpur padatan dan dingin, sehingga dapat
mengantisipasi:
a. reorganisasi
tubuh gunung lumpur padu yang berekspansi horizontal;
b. mengantisipasi
tumbukan lereng di tiga zona (Osaka, TAS dan Siring),
c. antisipasi
akumulasi air dingin di daerah cekungan yang luas (Glagaharum dan Mindi), dan
d. mengurangi
secara bertahap volume dan atau ketinggian permukaan lumpur padu dan dingin,
baik mengantisipasi daya dukung tanggul dan daya tamping kolam, maupun
mengurangi dampak berganda geohazard
dipicu oleh efek pembebanan lumpur;
Dampak geohazard terutama bubble dengan
semburan gas metan, amblesan, patahan dan rekahan dapat dipantau secara
seksama.
Sehingga potensi geohazard yang
berpotensi ditimbulkan dapat segera ditangani, yang pada akhirnya dapat
mengurangi resiko bencana khususnya wilayah tidak layak huni.
Harapan terintegrasi dengan menurunnya
intensitas semburan dan amblesan, berhasilnya mengurangi volume lumpur padu di
dalam PAT, dan intensitas geohazard dapat diminimalkan. Sehingga kawasan dapat
bertahan menjadi layak huni.
a. Di
dalam PAT (Perpres 14/2007),
b. 3
Desa di luar PAT (Perpres 48/2008); (3) 9 RT dari 3 Desa di luar PAT yang
ditetapkan sebagai wilayah tidak layak huni (Perpres 40/2009);
c. Wilayah
di luar PAT lainnya yang telah diusulkan dan dalam pengkajian sebagai tidak
layak huni;
d. Pembebasan
lahan dan bangunan untuk relokasi infrastruktur jalan arteri dan jalan Tol; dan
e. Pembelian
lahan dan bangunan di sekitar Pond Glagaharum.
Pembangunan relokasi infrastruktur jalan
nasional dan jalan Tol dapat dirampungkan sehingga dapat memulihkan roda
perekonomian lokal dan regional, serta mengantisipasi kejadian fatal terhadap
potensi kerusakan Jembatan melintas Kali Porong yang telah dilalui dengan
kapasitas beban kendaraan angkutan barang yang luar biasa.
Sebagai harapan antara, pembangunan dan
revitalisasi jalan alternative di sekitar PAT, akan dapat mengurangi beban pada
saat terjadinya ‘traffic jam’ yang
telah membudaya.
Pulau Lumpur beserta aset pendukungnya
jalan di selatan Tanggul Kali Porong, dan pelabuhan nelayan tradisional dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai bagian dari perubahan paradigm dari
Bencana ke Manfaat.
Diwujudkan dalam kawasan perkembangan
ekonomi baru berbasis ‘water front
resort’ yang berwawasan lingkungan.
Misi nasional Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo yang ditugaskan kepada Bapel BPLS berdasarkan Landasan Hukum utama
Perpres 14/2007, serta mengacu Renstra dan Road
Map yang telah ditetapkan, pada tahun 2014 dapat dioptimalkan.
Selanjutnya dievaluasi secara menyeluruh
untuk ditentukan perspektif dan kebijakan strategis ke depannya.
1)
Kali Porong sebagai wahana pengaliran Lusi ke
laut. Selanjutnya dijadikan sebagai Pola Tetap dan Grand Strategy sistem pengaliran lumpur, sebagaimana diamanahkan
pada Perpres 14/2007 dan perubahan ke dua Perpres 40/2009;
2)
Pulau Lumpur sebagai pengendali tahap akhir
alur sedimen ke dalam Palung dari Selat Madura, disamping berfungsi untuk
mendukung misi pengaliran Lusi ke laut.
3)
Juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan/kepentingan baik sosial, lingkungan maupun ekonomi.
Hasil nyata adalah kekhawatiran
masyarakat terhadap potensi terjadinya banjir, dengan puncak debit aliran di
Kali Porong yang pernah mencapai 1500 m3/detik (2009) dan sekitar
1.000 m3/dt (Desember 2010) dapat diantisipasi.
Dengan demikian pada analisis resiko
bencana, yang mungkin ditimbulkan telah ditempatkan pada peringkat yang lebih
rendah.
Kelestarian lingkungan dipertahankan, dimana
proses hutanisasi bakau telah berkembang dengan signifikan;
Sedang dalam tahap pembangunan dengan
konstruksi ‘beton’ pelabuhan nelayan tradisional. Pemantauan di lapangan 1
Januari 2011 menunjukkan bahwa masyarakat dari berbagai daerah telah mulai
memanfaatkan sarana dan prasarana tersebut sebagai suatu ‘water front city’. Sehingga dalam perjalanan waktu akan meningkat
secara signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar